Nasional MUNAS KONBES NU 2019

'Perdebatan' Para Kiai dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kam, 14 Februari 2019 | 17:45 WIB

Jakarta, NU Online

Pada prinsipnya sebagian besar, jika tidak mau mengatakan semua orang, setuju dengan semangat lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagaimana yang tercantum dalam draft RUU tersebut, yakni didasarkan pada asas: penghargaan atas harkat dan martabat manusia; non-diskriminasi; kepentingan terbaik bagi korban; keadilan; kemanfaatan; dan kepastian hukum.

Empat tujuan RUU ini juga sangat mulia dan hampir tak bisa ditolak oleh siapapun, yakni: mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan Korban; menindak pelaku; dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

Akan tetapi, RUU ini bukan tidak menghadirkan perdebatan di kalangan pakar hukum islam di kalangan Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah perlu atau tidaknya memberikan definisi yang lebih dalam tentang perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar terhadap RUU ini, yaitu; pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan/atau penyiksaan seksual dianggap perlu penajaman yang lebih detail karena akan menjadi dasar hukum pidana.

Pakar hukum Islam, KH Abdul Moqsith Ghazali yang merupakan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU mengatakan pendalaman ini perlu diperkaya dengan definisi atau produk hukum dalam Islam yang mengatur perilaku mukallaf, yakni hukum fiqih.

“Kalau secara garis besar (RUU P-KS) sudah oke. Jadi tantangannya bukan pada undang-undangnya secara general, tapi lebih pada definisi bab-per-bab yang harus dikritisi dan diberi masukan. Sebab memungkinkan adanya benturan antara semangat RUU dengan sejumlah kaidah fiqih. Ini yang perlu dijembatani oleh Bahtsul Masail dalam diskusi Pra-Munas dan Munas nanti,” kata Kiai Moqsith pada NU Online. 

Pendefinisian yang dimaksud di dalam RUU P-KS sebaiknya diberikan dengan spesifik sehingga ‘tidak menjadi ‘bola liar’ yang dapat meninggalkan ruang ambigu yang tidak spesifik. “Misalnya sejauh apa ukuran ‘pemaksaan’ atau ‘kekerasan’ yang diatur dalam RUU ini,” ujarnya. 

Pandangan ini sedikit berbeda dangan apa yang diutarakan oleh KH Husein Muhammad Cirebon. Kiai yang mengawal RUU ini sejak penyusunan draftnya mengatakan bahwa RUU ini tidak perlu dibuat dengan terlalu detail hingga kasus-per-kasus. 

“Memang masih akan banyak kekurangan, tapi yang penting gagasan umumnya sudah masuk dalam RUU ini. Kalau terlalu dibikin detail, nanti terlalu banyak undang-undangnya. Memang umumnya UU bersifat umum,” ujarnya. 

Menurut kiai asal Cirebon ini, hal yang belum dijelaskan dalam undang-undang akan dijelaskan dalam penjelasan. RUU ini sendiri hanya mencakup hal yang substansial. 

Melawan hoaks

Namun perbedaan pandangan dalam hal furu’ antara para kiai ini merupakan hal biasa dalam tradisi keluarga besar Nahdlatul Ulama yang terjadi tanpa mengurangi kesepakatan para ulama tentang pentingnya mencapai kondisi yang lebih mashlahat untuk masyarakat dengan adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. 

Justru yang disayangkan adalah adanya serangan hoaks yang dibuat sebagian kalangan tertentu yang menyudutkan RUU ini sebagai RUU yang akan melegalkan praktik perzinaan dan pelegalan aborsi. ‘Serangan’ ini secara spontan dibantah oleh Kiai Husein dan Kiai Moqsith sebagai ‘kabar palsu’. 

“Masyaallah itu kabar tidak benar. Salah itu. Tidak benar kalau RUU ini akan melegalkan zina,” tegasnya. 

Senada dengan Kiai Husein, Riri Khariroh, anggota Komnas Perempuan menjelaskan bahwa RUU ini tidak mengatur zina karena zina telah diatur oleh KUHP. “Perzinaan sudah diatur sendiri dalam KUHP. Dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tidak akan membatalkan pasal perzinaan tersebut. Yang beredar di masyarakat itu adalah kabar palsu atau hoaks,” katanya.  

Pesan-pesan yang menyudutkan RUU P-KS ini secara sistematis dibuat dan disebarkan dan sampai pada kalangan masyarakat dan bahkan kalangan kiai NU. Dampaknya sebagian kiai mempercayai kabar tersebut dan menolak RUU ini dengan alasana menolak pelegalan zina dan free-seks yang berasal dari berita hoaks. 

RUU P-KS ini mendapat perhatian yang serius dari kalangan ulama NU. Pembahasan RUU ini dilakukan secara bertahap mulai dari diskusi Pra-Munas hingga Munas yang akan digelar pada akhir Februari mendatang. (Ahmad Rozali)