Nasional

Pernikahan Ibarat Perjalanan Mudik

Rab, 11 November 2020 | 22:00 WIB

Pernikahan Ibarat Perjalanan Mudik

Ibarat mudik kampung saat anggota mudik merasa bosan dan lelah, demikian halnya pernikahan. (Ilustrasi: cleanpng.com)

Jakarta, NU Online

Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Alissa Wahid mengibaratkan pernikahan sebagai perjalanan menuju kampung halaman. Alissa menceritakan saat dia bersama keluarga besar dengan menempuh perjalanan dari Jakarta sampai Jombang, Jawa Timur.

 

"Waktu berangkat dari Ciganjur (Jakarta Selatan) itu kita semua bahagia karena mau pulang ke Jombang. Semuanya semangat padahal berdesak-desakan di dalam mobil. Tapi tidak masalah karena semua masih semangat," cerita Alissa dalam Merasakan Peran Keluarga di Era Pandemi.

 

Begitu sampai di ujung tol Cikampek, lanjut Alissa, mereka di dalam mobil sudah mulai sikut-sikutan karena sesak dan lelah. "Nah, nanti saat tiba di Cirebon, rupanya sudah tidak karuan," tambahnya.

 

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini kembali mengisahkan, saat rombongan keluarga mudik tiba di Brebes, perasaan kesal dan keinginan untuk marah sudah mulai mencuat. Mereka sudah sangat ingin cepat sampai di kampung halaman.

 

"(Bahkan) menyesal dan (menggerutu) 'Tahu gitu nggak usah ikut ke Jombang,'" ucap Alissa.

 

Permisalan itu diberikan Alissa untuk bisa menggambarkan suasana dan situasi dari setiap tahap proses perkembangan dalam hubungan keluarga. Menurut Alissa, tahap perkembangan pasti beragam setiap pasangan.

 

Di awal, semua orang yang baru menikah pasti memiliki perasaan yang kuat untuk selalu menyatu. Namun, perasaan itu hanya akan berlangsung sekitar dua tahun. Memasuki usia pernikahan ketiga, persoalan mulai muncul karena kebutuhan pribadi sudah mulai keluar lagi.

 

Pada tahun keempat hingga ketujuh, akan terdapat banyak perseteruan karena kebutuhan pribadi yang kembali mencuat itu tadi. Seperti perasaan ingin kembali memberikan nafkah kepada orangtua yang sejak menikah hal tersebut tidak pernah lagi dilakukan.

 

"Dulu aku kalau habis gajian itu langsung memberikan 30 persen untuk ibu. Sejak menikah aku nggak pernah memberikan ibu. Jadi mulai sekarang aku mau balik lagi memberi ibu," kata Alissa menggambarkan suasana batin salah satu pihak dalam hubungan keluarga.

 

Selain itu, akan muncul pula perasaan rindu kepada teman-teman nongkrong yang sejak menikah sudah tidak pernah bertemu lagi. Hal tersebut menjadi sumber pertengkaran dan perseteruan. Sifat keakuan seperti itu akan mulai keluar dan mengemuka.

 

Kemudian di tahun ketujuh hingga kesebelas akan muncul kembali tantangan yang berbeda. Nah, masa suram yang penuh tantangan itu bakal muncul mulai dari tahun ketiga hingga ketujuh dan tahun kesebelas sampai kelimabelas.

 

"Tahun kesebelas dan kelimabelas itu sedang banyak-banyaknya pertengkaran atau persoalan," ucap Alissa.

 

Pertengkaran adalah keniscayaan dalam keluarga
Alissa menyebutkan, pertengkaran dalam keluarga adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, harus disyukuri jika pernikahan yang baru memasuki tahun keempat dan kemudian banyak menemukan gagasan atau pertengkaran.

 

"Justru harus bersyukur alhamdulillah, karena berarti sudah pada tahap yang benar. Tapi kalau nggak muncul persoalan, gesekan, ketidakpuasan, dan ketegangan malah justru bahaya. Berarti ada salah satu pihak yang tertekan biasanya. Tapi kalau ada gesekan-gesekan itu sangat wajar yang berarti tahap perkembangan hubungannya berjalan dengan normal," jelasnya.

 

Sementara pekerjaan rumah bagi hubungan keluarga di usia keempat hingga ketujuh adalah harus menemukan pola bertengkar yang baik dan benar. Jadi, kata Alissa, bukan bertengkaranya yang dihindari karena itu tidak mungkin.

 

"Pernikahan itu pasti ada pertengkaran dan ketegangan. Tapi bagaimana bertengkar dengan baik dan benar. Lihatlah lima pilar bangunan keluarga maslahah tadi yang harus dipegang sebagai prinsip dalam berkeluarga. Kemudian harus selalu kembali kepada pokok komitmen," katanya.

 

Di samping itu, perspektif mu’asyarah bil maruf harus diperhatikan. Jangan bersikap terlalu negatif. Berdasarkan riset di psikologi perkawinan, jelas Alissa, pasangan suami istri yang kata-kata, perilaku, tindakan, dan sikap negatifnya delapan kali lebih banyak daripada yang positif, prediksinya akan 87 persen akan bercerai. 

 

"Jadi kalau kita sedang berkonflik, coba perhatikan sikap kita. Apakah nada kita selalu meninggi? Apakah kita banting-banting barang? Marah-marah? Kalau itu jumlahnya lebih banyak maka hati-hati," ucap Alissa.

 

Sedangkan keluarga atau pasangan yang stabil hubungannya adalah yang kata-kata dan perilaku positifnya lima kali lebih banyak daripada yang negatif. Jadi, stabil itu bukan satu lawan satu, tapi lima positif dan satu negatif.

 

"Sementara kalau delapan negatif dan satu positif, itu 87 persen akan bercerai. Ini riset psikologi," tambah Alissa.

 

Bagaimana kalau emosi?
Soal emosi, Alissa menyarankan agar pasangan mengenali sumbu emosi. "Kenali hal-hal apa yang bisa menjadi pemicu emosi kita memuncak. Lalu kenalilah cara kita untuk menenangkan diri. Jangan-jangan cara kita yang terbaik untuk menenangkan diri adalah dengan shalat atau mendengarkan lagum," ujarnya.

 

Namun, perlu juga mengenali cara untuk menenangkan diri. Alissa menegaskan hal itu sangat dipakai, karena memang pertengkaran ini tidak bisa dihindari, pertengkaran pasti terjadi.

 

Berikutnya, pasangan suami istri harus belajar tentang cara mengomunikasikan terkait hal apa yang menjadi ganjalan di dalam hubungan keluarga. Namun, Alissa kembali mengingatkan bahwa ketika berinteraksi dengan pasangan harus selalu berbasis musyawarah dan tiga fondasi bangunan keluarga maslahah yakni keadilan, kesalingan, dan keseimbangan.

 

Dengan demikian, jika hal itu dilakukan, pasangan suami istri dapat menyelesaikan berbagai persoalan dengan bertengkar tapi secara baik dan benar, tanpa mengedepankan emosi belaka.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan