Nasional

Pernikahan Silang 'Kaya-Miskin' Dinilai Bukan Solusi untuk Keluarga Maslahah

Ahad, 15 November 2020 | 03:00 WIB

Pernikahan Silang 'Kaya-Miskin' Dinilai Bukan Solusi untuk Keluarga Maslahah

Alissa Wahid mengatakan dalam psikologi hirarki nilai akan menentukan kualitas keluarga.

Jakarta, NU Online
Kunci pernikahan adalah kembali kepada fondasi keluarga maslahah dan harus utuh dalam membacanya. Fondasi itu terdapat tiga prinsip utama yakni muadalah (keadilan), mubadalah (kesalingan), dan muwazanah (keseimbangan). 

 

Dalam webinar Merasakan Peran Keluarga di Era Pandemi, Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Alissa Wahid ditanya apakah pernikahan silang antara orang kaya dengan orang miskin dapat menjadi solusi dan mendatangkan kemaslahatan?

 

"Tergantung, dia bisa membangkitkan prinsip keadilan atau tidak?" jawab Alissa, dengan kembali mengemukakan pertanyaan. 

 

Lebih lanjut dikatakan, jika pada awal pernikahan seorang laki-laki miskin dengan perempuan kaya itu berlandaskan cinta maka hubungan tersebut dapat mengatasi kemungkinan relasi kuasa karena harta.

 

Namun berbeda halnya, apabila sebuah pernikahan dari awal dilihat hanya dari kepentingan agar si miskin tidak terus-menerus hidup sengsara sehingga sebaiknya orang kaya menikahi si miskin, harus ada pertimbangan-pertimbangan yang matang.

 

Dalam psikologi, disebut hirarki nilai yang akan menentukan kualitas keluarga. Dengan demikian, tidak bisa melihat persoalan keluarga hanya secara sepotong-sepotong, seperti orang kaya yang harus menikahi orang miskin.

 

Ketika orang kaya diminta menikahi orang miskin, Alissa kemudian bertanya, "Relasi apa yang akan terjadi? Apakah relasi muadalah, mubadalah, muwazanah itu akan terwujud? Atau jangan-jangan malah akan menjadi relasi kuasa?"

 

Alissa menggambarkan jika salah satu dari pasangan mengatakan, "Saya ini yang lebih besar hartanya. Saya yang mengangkat kamu dan keluargamu" menurut Alissa pernyataan-pernyataan itu sangat mungkin terjadi jika pernikahan silang dilakukan hanya untuk mengangkat hidup orang miskin agar tidak miskin terus.

 

Pada hubungan keluarga, terutama pernikahan, nafsu sangat besar pengaruhnya. Sebab pernikahan adalah hubungan yang paling privasi, sehingga tidak ada lagi yang menjadi tabir di antara kedua pasangan.

 

"Semua tendensi kita yang paling jelek, biasanya akan keluar kepada pasangan. Jadi, kalau memang pernikahan silang itu dasarnya adalah ingin betul-betul mendapatkan ridha Allah dan tidak melihat latar belakangnya, maka prinsip taradhin (kerelaan) itu akan berdiri dengan tegak. Tapi kalau dasarnya adalah karena harta, maka akan sulit membangun keluarga maslahah," jelasnya.

 

Alissa lantas mengutip pernyataan Pakar Tafsir Perempuan Nur Rofiah yang mengingatkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak sama sekali dibedakan kecuali karena ketakwaannya kepada Allah.

 

"Kita ini hamba Allah karena itu hanya menjadi hamba bagi Allah. Tidak menghamba kepada yang lainnya dan juga tidak memperhamba makhluk Allah yang lainnya. Tidak menghamba pada jabatan, kekuasaan, harta, dan manusia yang lain, serta tidak memperhambakannya," kata Nur Rofiah yang dikutip Alissa.

 

Oleh karena itu, jika orang kaya diminta untuk menikahi si miskin maka sungguh tidak akan bisa menjadi solusi permasalahan. Menurut Alissa, terdapat satu cara untuk menganalisis persoalan tersebut agar tidak terjebak dalam penyelesaian yang semu, seperti kemiskinan yang bisa diatasi hanya dengan dinikahi oleh orang kaya. 

 

"Ada satu instrumen namanya ice break analysis dengan U Process. Silakan digunakan itu untuk membedah. Akan jelas sekali terlihat bahwa justru pendekatan yang seperti itu justru akan membawa mafsadah yang luar biasa," pungkas Alissa.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan