Nasional

Pesantren Perlu Mengenal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Sen, 15 Agustus 2022 | 15:00 WIB

Pesantren Perlu Mengenal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Ketua LPBH PWNU DIY, Hifdzil Alim. (Foto: tangkapan layar Youtube Krapyak Official)

Jakarta, NU Online

Pesantren menjadi tempat yang patut di waspadai terhadap tindak pidana kekerasan, menyusul berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Oleh karena itu Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta, Hifdzil Alim menganggap bahwa sosialisasi undang-undang 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan sosial sangat perlu dilakukan di pesantren.


"Karena sering kali perbuatan di pesantren yang biasanya seakan-akan tidak ada muatan hukumnya tapi secara hukum formil itu masuk ke dalam perbuatan hukum yang harus di pertanggungjawabkan," papar Hifdzil dalam Youtube Krapyak Official Sabtu (14/8/2022).


Ia menuturkan bahwa hal itu sebagai bentuk respon banyaknya kasus di lembaga pendidikan dan perlindungan terhadap anak dan perempuan, serta tidak menutup kemungkinan yang mungkin bisa dialami oleh laki-laki.


Hifdzil memaknai tindak pidana kekerasan seksual dengan segala unsur yang memenuhi tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang dan perbuatan kekerasan seksual yang lainnya, sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam undang-undang.


"Termasuk ada macam-macam tindakan itu yaitu pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksplorasi seksual, perbudakan seks, kekerasan seksual berbasis elektronik," jelasnya.


Lebih lanjut ia menjelaskan pelecehan seksual nonfisik dapat berupa perbuatan seksual yang tidak secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual dan organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas atau kesusilaan.


"Maksudnya adalah pernyataan, gerak tubuh ataupun aktifitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan," tandasnya.


Ia mencontohkan seperti jika ada santriwati sedang berjalan ke kantin kemudian tiba-tiba ada yang bersiul untuknya, maka itu termasuk kekerasan seksual non fisik.


"Semua tindakan tidak bisa dianggap pelecehan non fisik apabila tidak memenuhi segala unsur-unsur adanya penyataan, gerak tubuh, aktifitas yang tidak patut, dan dengan tujuan merendahkan. Sehingga ini adalah satu kesatuan, bukan optional," jelasnya.


Kekerasa Elektronik

Hifdzil juga menerangkan kekerasan elektronik juga masuk ke dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual jika dilakukan dengan cara merekam atau mengambil gambar atau tangkapan layar di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek.


"Caranya agar tidak terkena pelanggaran itu ya harus meminta izin, meskipun hanya untuk disimpan pribadi atau dikenalkan orang tua," ujarnya.


Ia juga menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan mentransmisikan atau mengirim kembali foto atau video itu kepada orang lain. 


"Misal HP dijual kepada konter kemudian foto atau video di dalamnya disebarkan oleh pihak konter maka orang yang menjual hp nya akan ikut terkena pelanggaran undang-undang juga," jelasnya.


Selain itu ia juga menambahkan, melakukan penguntitan atau pelacakan yang disebar luaskan juga termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik.


"Unsur lainnya dilakukan dengan maksud pemerasan, pengancaman, menyesatkan atau memperdaya seseorang supaya melakukan sesuatu," pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati

Editor: Fathoni Ahmad