Nasional BULAN GUS DUR

Politik bagi Gus Dur, Alissa: Wasilah Perkuat Martabat Kemanusiaan

Sab, 19 Desember 2020 | 06:00 WIB

Politik bagi Gus Dur, Alissa: Wasilah Perkuat Martabat Kemanusiaan

Gus Dur (kedua dari kanan) sedang berbincang dengan BJ Habibie. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (Alissa Wahid) mengatakan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu menjaga martabat kemanusiaan. Bahkan politik pun, bagi Gus Dur adalah wasilah untuk memperkuat, meningkatkan, dan memperbaiki martabat kemanusiaan.


“Dari situlah, lahir berbagai sikap dan keputusan-keputusan Gus Dur yang memang diarahkan untuk memanusiakan manusia,” ungkap Alissa dalam sebuah program galawicara yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube TV9 Official, Sabtu (19/12) pagi.


Untuk bisa memanusiakan manusia, lanjut Alissa, dibutuhkan sebuah prinsip yang paling penting yakni keadilan. Prinsip inilah yang selalu dijaga oleh Gus Dur sehingga ia mampu memuliakan martabat kemanusiaan. 


Baca juga: Saat Jabat Presiden, Gus Dur Libatkan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan


“Inilah yang kemudian kita lihat saat ini, seringkali keputusan atau kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat itu terpengaruh oleh mayoritarianisme atau pandangan mayoritas-minoritas dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Alissa. 


“Jadi kalau misalkan di suatu tempat didominasi kelompok A, maka kelompok lain tidak mendapatkan hak setara. Contoh paling mudah adalah dari sisi kesukuan. Kemudian dari sisi agama,” sambung putri sulung Gus Dur ini.


Diskriminasi kerap terjadi, ujar Alissa, dalam pertarungan kepemimpinan lokal yang cenderung akan lahir sentimen pribumi dan non-pribumi. Padahal, misalnya, pemimpin yang didiskriminasi itu ternyata sudah lahir, besar, dan berkhidmah di daerah tersebut.


Baca juga: Gusdurian Dorong Konsep Pribumisasi Islam Jadi Strategi Gerakan Masyarakat


“Menurut saya ada banyak tantangan saat ini terkait penghormatan terhadap keberagaman. Keberagaman bukan dilihat hanya sebagai keberagaman saja. Tapi dalam hal kewarganegaraan, hak-hak setiap manusia dan warga negara, sekarang banyak sekali sekat-sekat yang ditinggikan,” tutur Alissa.


“Antarkelompok terdapat sentimen-sentimen yang membatasi sehingga persatuan kita memudar. Sedangkan Bhinneka Tunggal Ika itu Bhinnekanya saja yang kelihatan, tapi satunya itu kok berkurang karena terjadi sentimen antarkelompok,” ungkapnya.


Sembilan Rekomendasi Gusdurian 
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Abdul Gaffar Karim, menjadi salah satu perumus sembilan rekomendasi Gusdurian untuk Indonesia. Rekomendasi tersebut dikeluarkan setelah sepuluh hari Jaringan Gusdurian menggelar pertemuan nasional secara virtual. 


Ia kemudian menjelaskan berbagai latar belakang sehingga muncul sembilan rekomendasi tersebut. Singkatnya, Gaffar menyebutkan bahwa rekomendasi itu merupakan upaya Gusdurian untuk turut memberi masukan bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.


“Ini (sembilan rekomendasi Gusdurian untuk Indonesia) adalah upaya kontributif yang sangat wajar dilakukan oleh semua elemen masyarakat sipil. Apalagi Jaringan Gusdurian yang mewarisi gagasan dan pemikiran Gus Dur sampai hari ini dan ke depan masih relevan untuk menguatkan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.


Ditegaskan Gaffar, rekomendasi itu didasarkan pada analisis Jaringan Gusdurian mengenai kondisi yang terjadi belakangan ini. Jadi, lanjut dia, situasi terkini mendasari lahirnya sembilan rumusan rekomendasi tersebut.


“Kemudian rekomendasi itu dijadikan sebagai kerangka pikir untuk mengidentifikasi apa saja yang harus dilakukan bangsa Indonesia ke depan. Prinsipnya ini adalah upaya kuratif (pertolongan) terhadap sejumlah persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Gaffar.


Poin pertama dari sembilan rekomendasi itu adalah menyangkut diskriminasi yang selalu saja terjadi di negeri ini. Menurut Gaffar, rekomendasi tersebut lahir dari prinsip dasar yaitu kemanusiaan. Sebuah prinsip yang oleh Gus Dur secara konsisten dijadikan sebagai ekspresi pemikiran dan basis ajarannya.


“Poin pertama itu adalah prinsip dasar bahwa negara harus bisa melindungi semua orang tanpa ada diskriminasi. Ini tidak mudah karena kenyataannya ada banyak pola relasi (seperti) ada mayoritas-minoritas,” katanya.


Parahnya, ungkap Gaffar, negara lebih cenderung untuk melindungi yang mayoritas dan sengaja atau tidak sengaja mendiskriminasi minoritas. Diskriminasi itu terjadi di semua aspek, baik dalam hal relasi etnisitas, keberagamaan, maupun ekonomi.


“Karena itu, salah satu yang harus selalu kita perhatikan adalah masyarakat kita harus diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi,” tutur pria asal Madura ini.


Rekomendasi itu sejalan dengan perjuangan Gus Dur yang dikenal sebagai sosok yang sangat menolak diskriminasi. Lebih jauh Gaffar menjelaskan, penolakan Gus Dur terhadap diskriminasi bukan hanya jika terjadi kepada teman-temannya.


“Akan tetapi, juga bila menimpa musuh-musuhnya dan kepada orang-orang yang selalu timbul kesulitan. Prinsipnya, Gus Dur meminta semua orang diperlakukan secara adil,” ungkap Gaffar.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori