Nasional

Selama 20 Tahun, UU Otonomi Khusus Belum Sentuh Akar Persoalan Orang Papua

Sen, 14 Desember 2020 | 06:30 WIB

Selama 20 Tahun, UU Otonomi Khusus Belum Sentuh Akar Persoalan Orang Papua

Gus Dur di tengah masyarakat Papua. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Jakarta, NU Online

Orang Papua harus diperlakukan secara adil karena setara dengan warga negara yang lain. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) atau UU Nomor 21 Tahun 2001 yang disahkan pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Namun Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua Tony Wanggai menyayangkan bahwa secara substansi, UU Otsus yang sudah berjalan selama 20 tahun itu sama sekali belum menyentuh akar persoalan orang Papua. 


“Kita melihat UU Otsus ini bukan saja dari sisi keuangan dan pembangunan infrastruktur atau uang dan pembangunan,” ungkapnya dalam Ziarah Pemikiran bertajuk Gus Dur dan Papua yang merupakan rangkaian agenda dari Temu Nasional (Tunas) Gusdurian 2020 pada Sabtu (12/12) lalu.


Untuk diketahui, UU Otsus Papua itu fokus pada empat bidang utama yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan ekonomi kerakyatan. Namun Tony menegaskan bahwa terdapat tiga hal penting yang sebenarnya menjadi ruh penting dari UU Otsus tersebut.


Pertama, proteksi atau perlindungan terhadap orang asli Papua dalam bidang apa pun. Misalnya dari sisi politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak-hak adat Papua. Semua itu, Tony menegaskan, harus diproteksi. 


Kedua, dignity atau pengakuan dan penghormatan terhadap orang asli Papua. Penghormatan yang paling mendasar adalah soal tanah, hutan, kekayaan alam, dan lembaga adat mereka. Itu harus dihargai. (Namun) saya lihat secara substansi (UU Otsus) belum menyentuh itu,” tegas Tony.


Di samping itu, ia mengungkapkan bahwa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Masyarakat Hukum Adat saja hingga kini belum juga disahkan. Di tingkat pusat, Rancangan UU Masyarakat Hukum Adat pun belum tuntas.


“Kita tahu bahwa mungkin ada berbagai kepentingan bisnis. Misalnya ketika UU Masyarakat Hukum Adat yang mengatur soal masyarakat memiliki kewenangan lebih besar terhadap kekayaan mereka seperti tanah, air, dan hutan, maka tentu akan mengganggu para kapitalis. Itu yang menjadi hambatan,” ungkapnya.


Di lapangan, orang Papua yang misalnya memiliki hutan tapi hak pengelolaannya menjadi milik orang non-Papua. Punya hasil kekayaan alam tapi kontrak karyanya malah tidak melibatkan orang Papua. Begitu pula lembaga adatnya yang tidak diberdayakan.


“Ini yang saya kira belum menyentuh soal dignity atau penghormatan terhadap orang Papua,” jelas Tony. 


Hal ketiga yang menjadi ruh dari UU Otsus adalah soal pemberdayaan orang asli Papua. Pemberdayaan tersebut mengenai sumberdaya manusia, kelembagaan adat, serta hak politik dan ekonomi rakyat Papua. 


“Ini harus benar-benar diberdayakan. Jadi memang, hak-hak politik misalnya, yang menjadi persoalan di Papua sekarang misalnya kursi legislatif. Di dalam UU Otsus, ada 14 kursi adat Fraksi Adat. Itu baru terealisasi pada dua periode belakangan. Tapi itu pun di tengah jalan,” katanya.


“Sampai sekarang sudah sampai dua tahun, kursi adat belum ada. Karena ada tarik-menarik kepentingan politik. Jadi masyarakat adat terpinggirkan. Di Jayapura belum ada Fraksi Adat. Jadi semua melebur ke dalam fraksi partai politik,” sambung Tony.


Namun Fraksi Adat tersebut justru ada di Manokwari, Papua Barat. Bahkan sekarang, Ketua DPRD-nya orang dari perwakilan masyarakat adat atau dari Fraksi Adat itu. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua.


“Di Papua (masih) tarik-menarik. Sampai sekarang masih digabungkan ke dalam partai politik sehingga hak-hak masyarakat adat ini dikebiri oleh partai politik. Ini kan jadi persoalan,” tutur Tony. 


Ketiadaan Fraksi Adat membuat konflik sosial-politik atau bahkan kecemburuan dari orang asli Papua terhadap orang non-Papua. Kata Tony, karena persoalan itu tidak diatur prosentasenya. Padahal sudah diatur dalam Pasal 28 UU Otsus tentang hak-hak politik masyarakat adat. 


“Itu kan mestinya diturunkan dalam bentuk Perdasus. Misalnya dibagi kursinya 70-30. Tapi sampai sekarang tidak. Di Timika dan Merauke orang asli Papua hanya ada tiga orang. Apakah ini tidak menimbulkan persoalan politik?” kata Tony mempertanyakan.


Dengan demikian, ia melihat bahwa selama 20 tahun UU Otsus berjalan sama sekali tidak menyentuh substansi akar persoalan.

 

Sebagai Anggota Majelis Rakyat Papua, Tony mengaku sedang terus memperjuangkan agar ruh UU Otsus itu dapat dicapai, terutama soal pemberdayaan sumberdaya manusia orang asli Papua. “Jadi memang perlu kesabaran,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad