Jakarta, NU Online
Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) menggelar kuliah tamu dengan tema 'Aplikasi Psikologi Pendidikan dan Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia', Kamis (17/11). Dalam kesempatan itu dipaparkan banyaknya pekerjaan rumah perguruan tinggi di Indonesia.
Dari sisi rangking, di Asia Tenggara saja universitas di Indonesia hanya lebih tinggi dari negara Vietnam. Jumlah riset yang dipublikasi di jurnal internasional pun jauh di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Tahun 2014, publikasi internasional Indonesia hanya 5.499, sedangkan Malaysia 25.330, Singapura 17.198, dan Thailand 12.061. Dengan jumlah pendidikan tinggi sebanyak 4.275, berarti produksi publikasi setiap perguruan tinggi hanya 1,29 publikasi per tahun.
Sebaran angka tersebut tentu tidak merata karena pada kenyataannya hanya kampus-kampus besar yang mampu memproduksi jurnal internasional. Dengan kata lain, ribuan kampus yang jumlah publikasi internasionalnya 0.
Di luar masalah tersebut pendidikan tinggi punya masalah dengan jumlah guru besar, penyimpangan dalam pengangkatan profesor, tidak adanya standarisasi gaji untuk dosen, dan rekrutmen dosen yang tidak terbuka.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenristekdikti sayangnya sering kurang tepat melakukan tindakan. Kekurangan guru besar seharusnya diatasi dengan membuka kesempatan guru besar sesuai slot yang dibutuhkan, tetapi hal itu tidak dilakukan.
Pengangkatan profesor juga sering menemui masalah. Misalnya, pejabat publik diangkat sebagai profesor seperti kepada mantan Menteri Aparatur Negara Yuddy Chrisnandi. Beberapa nama lain diangkat meski tidak memiliki karir akademik.
Hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 92 tahun 2014. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa professor adalah jabatan akademik tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Standarisasi gaji dosen tak kalah mengkhawatirkan. Dari dulu dosen hanya diatur kewajibannya, sementara hak gajinya tidak pernah diatur.
“Dosen disamakan dengan PNS di institusi-institusi lain yang tidak punya kewajiban meneliti dan pengabdian masyarakat. Soal kepangkatan juga tidak jelas,” ungkap Idhamsyah Eka Putra, salah satu narasumber.
Senada dengan Idham, DPK Kopertis V Yogyakarta Victor Novianto, menyebutkan masalah mendasar di Indonesia adalah tidak adanya blue print untuk pendidikan tinggi. Hasil studi banding Victor menunjukkan Malaysia sudah punya blue print yang jelas termasuk standar gaji dosen, model rekrutmen, dan usia pensiun. Sementara Indonesia belum punya arah yang jelas kemana pendidikan tinggi akan dibawa.
Kedua narasumber berharap semoga kajian yang dilakukan Unusia dapat menjadi bahan refleksi untuk kualitas pendidikan Indonesia yang lebih baik. (Kendi Setiawan/Fathoni)