Nasional

Prof Oman Jelaskan Haji Mabrur dari Perspektif Fiqih dan Tasawuf

Jum, 30 Juni 2023 | 23:50 WIB

Prof Oman Jelaskan Haji Mabrur dari Perspektif Fiqih dan Tasawuf

Ilustrasi: ​​​​​​​Haji mabrur menjadi cita-cita jamaah haji dan umat Islam secara umum. (Foto: NU Online/Mahbib Khoiron)

Jakarta, NU Online 
Haji mabrur menjadi impian dan cita-cita jamaah haji dan umat Islam secara umum. Disebutkan dalam hadits, Rasulullah saw menjamin surga bagi mereka yang berhasil meraih predikat tersebut.


Hal ini disampaikan Prof Oman Fathurahman, Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat pada khutbah Idul Adha, Kamis (29/6/2023).


Merespons hadits tersebut, lanjut Prof Oman, sahabat bertanya mengenai hakikat haji mabrur itu. Menjawab pertanyaan itu, Nabi menyampaikan bahwa hakikat haji mabrur adalah memberi makan (fakir miskin) dan menebarkan kedamaian (salam).


"Hadits ini mengisyaratkan adanya pesan moral bahwa orang yang berhaji semata belum tentu jaminan mendapatkan pahala mabrur, bahkan jika hajinya berulang-ulang," ujarnya.


"Hakikat dari haji mabrur kata Nabi tidak terletak pada berapa kali haji itu dilaksanakan, melainkan pada sejauh mana kita bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dengan memberi, seperti melalui qurban, atau bahkan cukup dengan menciptakan kedamaian," imbuhnya.


Dalam ajaran Islam, kata Prof Oman, nilai haji memang sangat penting dan dianggap sebagai sebuah capaian spiritualitas tinggi seorang Muslim. 


"Mengingat tingginya posisi spiritual haji itulah maka dalam berbagai tradisi Islam, baik dalam tradisi fiqih, tradisi tasawuf, hadis, maupun dalam tradisi-tradisi keilmuan Islam lainnya, semangat untuk mendapatkan pahala haji mabrur selalu menjadi salah satu topik pembicaraan," ujarnya.


Menurutnya, sangat banyak teks dalam tradisi keislaman yang menceritakan berbagai cara untuk mendapatkan esensi haji, yaitu mabrur.


Prof Oman menjelaskan bahwa syarat haji mabrur tentu saja harus didahului oleh sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah haji tersebut jika ditilik dari perspektif fiqih. Sebab, kunci mabrur juga ditentukan oleh bagaimana menjalankan segala syarat dan rukun haji yang telah ditetapkan oleh para ulama, mulai dari niat haji, cara mengenakan pakaian ihram, tertib tawaf, dan hal-hal lain yang terkait ritual ibadah haji.


Hal tersebut berbeda dengan tradisi tasawuf dalam melihat haji mabrur. Para sufi, jelas Prof Oman, lebih menekankan pada bagaimana memperoleh esensi haji itu sendiri, bukan semata ritual fisiknya.


Menjelaskan hal itu, Prof Oman mengutip bait syair karya sufi besar Melayu asal Aceh, yakni Hamzah Fansuri berikut:


Hamzah Fansuri di dalam Mekah    
mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
di Barus ke Kudus terlalu payah    
akhirnya dapat di dalam rumah


"Sepintas bait-bait Hamzah Fansuri di atas seperti meremehkan kesucian Makkah sebagai baitullah, rumah Allah tempat ‘bertemu’ dengan-Nya, dan cukup menggantinya dengan mencari Tuhan di dalam rumah sendiri saja," terangnya.


Akan tetapi, jika memahaminya dalam konteks batin, esensi yang sedang dikumandangkan oleh Hamzah Fansuri sesungguhnya adalah bahwa nilai haji mabrur sesungguhnya dapat diperoleh di mana saja, dan bahkan dengan cara apa saja, sejauh kita sendiri mampu meraihnya.


"Dalam hadis di atas, Nabi memberikan tips bahwa kita yang tidak sedang berada di tanah suci, juga bisa mendapatkan pahala mabrur haji manakala bisa dengan ikhlas menyantuni kaum dhuafa serta selalu menebarkan kedamaian kepada orang lain," terang Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Menurutnya, bukan satu dua sumber-sumber lokal Islam di Nusantara memberikan ilustrasi tentang hal ini. Dalam kitab Melayu Tajussalatin yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari pada awal abad ke-17, misalnya, dikisahkan bahwa ada seorang raja Islam yang shaleh hendak pergi menunaikan ibadah haji, tapi masalahnya ia berarti harus meninggalkan tugasnya sebagai raja. Maklum saja, pada masa lalu, perjalanan haji tidak bisa ditempuh dengan hitungan hari atau bulan, melainkan tahun.


Sang Raja pun berkonsultasi kepada para pembesar istana terkait rencananya itu. Merespons itu, seorang di antara mereka berkata seraya menyampaikan sembahnya berikut.


"Wahai Syah Alam, bahwa raja ada dalam negeri seperti nyawa pada tubuh. Jika nyawa bercerai daripada tubuh, niscaya binasalah tubuh itu." 


Alih-alih mendukung rencana raja untuk berangkat haji, para pembesar istana itu menyarankan sang raja untuk menemui dan berkonsultasi dengan seorang Syekh, yang disebutnya sebagai 'seorang haji yang shaleh', dan konon telah beberapa tahun lamanya bermukim di Makkah.


Ketika sang Raja mengemukakan rencananya untuk menunaikan ibadah haji seraya menyampaikan kendala yang dihadapinya, maka Syekh tersebut berkata berikut.


"Hai Raja, jikalau seorang hamba Allah yang teraniaya datang kepadamu dan kamu dengan suka hati memeriksai halnya dan dengan lembut manis berkata-kata dengan dia dan melepaskan dia daripada tangan orang zalim dan hamba Allah yang mazlum itu pulang dengan suka hatinya daripadamu, maka pahala enam puluh haji itu kuberikan padamu dengan suka hati, dan dalam berniaga itu akulah yang beroleh laba daripadamu dengan sebenarnya."


Kisah yang diceritakan dalam kitab Tajussalatin tersebut, menurutnya, tentu saja merupakan sebuah perumpamaan dan hikmah atau kearifan lokal yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam situasi tertentu, bersikap adil dan membantu orang papa yang sangat membutuhkan uluran tangan memiliki nilai spiritual yang jauh lebih tinggi ketimbang melaksanakan ibadah haji sendiri.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan