Nasional

Prof Quraish Shihab: Jangan Maknai Maulid secara Harfiah Saja

Jum, 30 September 2022 | 11:45 WIB

Prof Quraish Shihab: Jangan Maknai Maulid secara Harfiah Saja

Prof HM Quraish Shihab. (Foto: YouTube Quraish Shihab)

Jakarta, NU Online
Datangnya bulan maulid Nabi Muhammad saw banyak dijadikan momentum masyarakat memperbanyak membaca shalawat dan maulid al-Barzanji. Di berbagai daerah, peringatan maulid digelar siang dan malam.


Cendekiawan Muslim Indonesia Prof HM Quraish Shihab mengingatkan bahwa dalam memaknai isi dari buku maulid seperti al-Barzanji jangan sampai menganggap keseluruhan maknanya benar.


“Kita harus memahami, jangan lantas menganggap benar-benar seperti itu. Jangan memaknai secara harfiahnya saja. Bukan berarti kita tidak percaya dengan maulid, tetapi kita hanya ingin mendudukkan Rasulullah saw dalam kedudukan yang sebenarnya,” tuturn Prof Quraish dalam tayangan YouTube Quraish Shihab, Kamis (29/9/2022).


Menurut Prof Quraish, Nabi Muhammad saw adalah manusia yang mendapatkan wahyu. Beliau itu Nabi sehingga selain umat Islam pun percaya bahwa pada diri Nabi bisa terjadi hal-hal luar biasa.


“Maka tidak perlu menolak karena hal luar biasa itu biasa terjadi pada Rasulullah saw. Tapi yang perlu diingat keberadaannya harus diposisikan pada tempat yang benar,” kata Prof Quraish.


Penulis Tafsir Al-Misbah itu menuturkan bahwa orang yang menulis dan berbicara tentang maulid sama halnya dengan menulis tentang sejarah. Sejarah dapat dituturkan oleh orang yang melihat dan mengalami sejarah itu sendiri. Sejarah juga bisa dituturkan oleh orang yang mendengar dari orang yang melihat.


“Sejarah bisa dituturkan oleh orang-orang yang hidup jauh sesudah peristiwa itu terjadi. Sejarah ada yang berkata digambarkan oleh penuturnya. Misalnya, kalau saya dengan senang dengan satu orang maka akan saya ceritakan yang bagus-bagus saja tentang dia. Orang yang kalah itu secara umum selalu digambarkan jelek oleh orang yang menang, itulah sejarah,” imbuhnya.


Prof Quraish menerangkan bahwa tidak jarang kita menemukan dalam uraian sejarah Nabi Muhammad ada orang-orang atau sejarawan yang menerima secara mudah semua riwayat selama itu mengagumkan.


“Dari segi penerimaan informasi, memang kita menemukan bahwa ada ayat Al-Qur’an yang pasti dan ayat yang artinya berbeda-beda. Demikian pula hadis,” ungkap Prof Quraish.


Menurut doktor jebolan Unibersitas Al-Azhar Mesir ini, ulama berkata bahwa yang menjadi akidah hanyalah Al-Qur’an yang pasti. Kalau hukum, tidak harus pasti, Kalau sejarah yang tidak pasti pun tetap bisa. Sejarah yang tidak pasti itu akhirnya bercampur antara yang benar dan tidak.


“Apalagi sebagian penulisnya itu adalah orang-orang yang sangat kagum dengan Nabi. Jadi, tujuannya memang baik. Sebagian penulis lainnya yaitu sastrawan yang terbiasa membesar-besarkan kata,” pungkas Prof Quraish.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori