Nasional

Puisi Gus Mus untuk Palestina: Soroti Ironi Lunturnya Kemanusiaan hingga Realitas Politik

Rab, 3 Januari 2024 | 13:00 WIB

Puisi Gus Mus untuk Palestina: Soroti Ironi Lunturnya Kemanusiaan hingga Realitas Politik

Gus Mus saat membawakan puisi berjudul 'Apakah Kau Terlalu Bebal atau Aku Terlalu Peka' di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jakarta, pada Selasa (2/1/2024) malam.

Jakarta, NU Online 

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri didapuk menjadi pengisi dalam acara bertajuk Untaian Doa dan Puisi untuk Palestina. Acara yang membuka rangkaian Hari Amal Bhakti (HAB) ke-78 Kementerian Agama (Kemenag) itu berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Selasa (2/1/2024) malam.


Dalam puisi Apakah Kau Terlalu Bebal atau Aku Terlalu Peka yang ia bawakan, kiai yang kerap disapa Gus Mus itu menyentil krisis kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Palestina.
 

“Puing-puing di Irak, Libia, Syiria, di Yaman meluapkan bau bangkai dan mesiu. Di Gaza potongan-potongan mayat bergelimpangan di antara reruntuhan bangunan. Seperti kena kutuk, kematian dan pembantaian terus berlangsung di berbagai belahan dunia,” ucap Gus Mus.
 

Selain menyinggung lunturnya nilai kemanusiaan, Gus Mus juga menyoroti tentang realitas politik di kalangan elite menggunakan metafora yang relevan dengan kondisi saat ini.


“Di Somalia, kerangka-kerangka hidup rakyat tanpa daya. Dikeroyok anjing-anjing dan dikerubuti lalat-lalat yang juga lapar. Anak-anakmu berebut fried chicken yang hangat seperti politisi-politisi musiman berebut kursi. Seperti pakar-pakar kambuhan berebut benar,” ucap Gus Mus.
 

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu juga memekikan bait puisi yang berbunyi, ”Dan kau sekeluarga bersendawa setelah mengeroyok makanan Amerika dan meneguk kaleng-kaleng Coca-Cola, seperti para elit politik yang merasa lega manuver mereka berhasil meramaikan pers merdeka. Seperti para mualaf metropolitan yang merasa nyaman meneriakan takbir jihad dan retorika takwa dan iman.”
 

Gus Mus juga menggambarkan ironi dan kontras antara kepekaan terhadap pemandangan memilukan dengan perilaku yang tampak acuh tak acuh terhadap kekerasan dan ketidakadilan.


“Pemandangan memilukan pun tak mampu mengusik seleramu. Apalagi kemudian sinetron yang seronok dengan cepat membawamu kembali ke duniamu seperti para koruptor tak terusik oleh berita-berita pengusutan korupsi. Apalagi tak lama kemudian berita pengusutan itu menguap tak berkelanjutan lagi,” tuturnya.


Kemudian pada sisipan bait berikutnya Gus Mus menyindir dengan kalimat-kalimat yang vulgar. Juru kampanye partai pun disebut dalam bait ini. 


 “Apakah kau terlalu bebal atau aku yang terlalu peka? Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan ibu dan saudara-saudaramu diperkosa dan dilecehkan. Dan zakar kalian tegang seperti menonton film biru picisan. Seperti para cerdik pandai dan jurkam partai yang orgasme mendengar suara mereka sendiri.”