Nasional

Puncak Jadi Tempat Kawin Kontrak, Kiai Faqih: Haram karena Ada Syarat Waktu yang Ditentukan

Sel, 22 Juni 2021 | 10:30 WIB

Puncak Jadi Tempat Kawin Kontrak, Kiai Faqih: Haram karena Ada Syarat Waktu yang Ditentukan

Pendiri Mubadalah, KH Faqihuddin Abdul Kodir. (Foto: dok. istimewa)

 Jakarta, NU Online 

Pendiri Mubadalah, KH Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan bahwa kawin kontrak adalah perkawinan yang memiliki syarat waktu untuk berpisah atau bercerai mengikuti rentang waktu yang ditentukan.


"Syarat seperti ini dalam fiqih Suni di semua mazhab adalah tidak sah dan dihukumi haram," kata Kiai Faqih kepada NU Online, Selasa (22/6).


Kang Faqih sapaan akrabnya, menerangkan terdapat dua hukum yang dijelaskan oleh ulama dalam akad mut'ah (kontrak). Pertama, dihukumi sah sehingga tidak perlu mengulangi akad. Kedua, tidak sah dan perlu diulang karena ada syarat tenggat waktu. Namun, keduanya tetap dihukumi haram dan berdosa.


"Tidak sah/tidak berlaku, dan berdosa karena ada syarat waktu dalam akadnya," tegas Kang Faqih.


Di Indonesia sendiri melalui Kompilasi Hukum Indonesia (KHI), tidak dikenal istilah kawin kontrak. Karena prinsip pernikahan, kata Kang Faqih adalah mu'abbad (selamanya), dan tidak dibenarkan bersepakat untuk berpisah atau bercerai pada waktu tertentu (mu'aqqat).


"Walaupun bisa saja berpisah karena cerai. Dan itu tentu harus disertai alasan kuat," terangnya.


Kang Faqih berpendapat bahwa kasus-kasus kawin kontrak yang marak terjadi, seperti di daerah Puncak Bogor dan Cianjur itu sejatinya merupakan bisnis prostitusi yang dilegalkan.


"Artinya, laki-laki hanya ingin berhubungan dan perempuan bersedia karena ingin mendapatkan uang dari laki-laki tersebut. Bisa juga terjadi sebaliknya, perempuan ingin berhubungan dari laki-laki yang bersedia dibayarnya. Ini praktis merupakan bisnis prostitusi," tuturnya.


Hal tersebut jelas tidak bisa disebut sebagai pernikahan yang bervisi membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagaimana syariat Islam. Pasalnya, ditinjau dari sudut pandang manapun perlakuan tersebut adalah haram. Hanya saja dengan sengaja dilakukan prosesi akad palsu untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat. 


"Atau bisa jadi untuk menenangkan dirinya sendiri, sehingga dilakukan prosesi akad yang sesungguhnya adalah abal-abal, bukan akad sungguhan," ujar Penulis buku Qira'ah Mubadalah ini.


Apabila menggunakan kaidah fiqih, al-umuru bima qashidiha, bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya, maka menurut Kiai yang juga aktif di Majelis Musyawarah KUPI ini dengan tegas menilai bahwa akad kawin kontrak tidak dibenarkan sekalipun terlihat seperti akad nikah. 


"Karena niatnya adalah bisnis prostitusi, dan karena itu adalah haram hukumnya. Apalagi, ditambah tidak sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia," tegas penulis buku Sunnah Monogami ini. 


Kendati demikian, Kang Faqih menyampaikan selain mengharamkan dan melarang, keterlibatan pemerintah juga sangat penting melakukan dan pengontrolan yang masif. Bahkan akan lebih lebih baik lagi apabila pemerintah setempat dapat membuka peluang wisata lain yang lebih komprehensif, berbasis alam, kerajinan, kuliner, fasilitas, bukan berbasis tubuh perempuan. 


"Mengharamkan dan melarang bisa jadi kurang efektif karena ada suply dan ada demand. Sebaiknya, pemerintah di samping melarang, juga melakukan pengawasan dan pengontrolan juga," terangnya.


Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram kawin kontrak sejak 1996, namun praktiknya masih marak dan tak dapat dikendalikan.


Nikah Mut’ah (kontrak) menurut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali itu hukumnya haram. Referensi pandangan ini merujuk di antaranya kepada kitab Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i (Juz 5 halaman 71), Fatawi Syar’iyyah karya Syaikh Husain Muhammad Mahluf (Juz 2 halaman 7), Rahmatul Ummah (Halaman 21), I’anatuth Thalibin (Juz 3 Halaman 278-279), Al-Mizan al-Kubraa (Juz 2 Halaman 113), dan Hasyiyah As-Syarwani ‘alat Tuhfah (Juz 7 halaman 224).


Kontributor: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad