Nasional

Pura Mandhara Giri Semeru Agung Lumajang, Simbol Pesona Kerukunan Masyarakat Muslim di Desa Senduro

Jum, 21 Oktober 2022 | 13:09 WIB

Pura Mandhara Giri Semeru Agung Lumajang, Simbol Pesona Kerukunan Masyarakat Muslim di Desa Senduro

Tamu undangan peluncuran Kampung Moderasi Beragama di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Selasa, 18/10/2022) (Foto: Edy Wong Tengger)

Lumajang, NU Online
Suasana tak biasa terlihat di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Selasa, 18/10/2022) kemarin. Pura yang berada di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang ini terlihat ramai dipenuhi warga. Selain masyarakat sekitar, beberapa tamu undangan dari perwakilan Kementerian Agama (Kemenag) Lumajang, perwakilan umat Islam, juga tokoh agama Kristen hadir memenuhi undangan peluncuran Kabupaten Lumajang sebagai kabupaten moderasi beragama pertama di Jawa Timur yang digagas Kemenag setempat.


Di lokasi tempat berlangsungnya acara, terlihat panggung dengan spanduk bertuliskan "Launching Kampung Moderasi Beragama, GURU (Guyub Rukun)". Tak hanya tertulis Guyub Rukun, di bawah judul utama juga tercantum rangkaian kata penggugah semangat: "Walaupun kita tidak bersaudara dalam keimanan, namun kita bersaudara dalam kemanusiaan dan kebangsaan". Kalimat tersebut tercetak dengan tinta hijau dan tampak jelas terbaca oleh mata. Rangkaian huruf ini selaras dengan nilai tenggang rasa para penduduk Desa Senduro sehingga desa ini dikenal dengan sebutan Kampung Pancasila. Nama yang disematkan karena selama ini penduduknya bisa hidup berdampingan dalam perbedaan dan memeluk agama yang beragam, layaknya miniatur bangsa Indonesia. 


Dalam praktik moderasi beragama, masyarakat di Desa Senduro ini saling menjaga kerukunan tanpa memandang perbedaan identitas yang disandang masing-masing individu. Tak ayal di desa ini pun rumah ibadah masing-masing agama berdiri kokoh dan berdekatan tanpa memicu konflik meski berbeda keyakinan. Di sana terdapat rumah ibadah umat Kristen dengan nama Gereja Sola Gratia, Masjid Baitussalam bagi umat Islam, juga berdiri rumah ibadah umat Hindu yang dikenal sebagai pura tertua di Indonesia, yakni Pura Mandara Giri Semeru Agung, lokasi peluncuran Desa Senduro sebagai Kampung Moderasi Beragama. 

 

Kepala Kantor  Kementerian Agama Lumajang, Muhammad Muslim mengatakan, peluncuran Desa Senduro sebagai Kampung Moderasi Beragama memang sebagai langkah untuk mencapai target Kabupaten Lumajang sebagai Kabupaten Moderasi Beragama di Jawa Timur. 

 

"Kami menargetkan bulan depan (November) InsyaAllah sudah bisa mendeklarasikan Lumajang sebagai Kabupaten Demokrasi Agama," ujarnya kepada NU Online, Rabu (19/10). 

 

Target "Kabupaten Moderasi"

Menurut Muhammad Muslim, masyarakat Lumajang sudah terbiasa menjalankan praktik moderasi beragama mulai dari aktivitas sosial bahkan bergerak saling bergotong-royong dalam bidang ekonomi dan kesehatan tanpa membeda-bedakan keyakinan, suku, ras dan etnis. Penduduknya bisa bergerak bersama, hidup bersama dalam perbedaan. 

 

Untuk merealisasikan target kabupaten moderasi ini pihak Kemenag pun membentuk kader-kader penggerak moderasi mulai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)-Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga membentuk kader penggerak di setiap kecamatan. 

 

"Ada kader penggerak di masing-masing KUA di bawah naungan rumah moderasi, ada juga  Gerakan Siswa Moderat (GSM), dan hampir semua kecamatan sudah mendeklarasikan diri sebagai Kecamatan Sadar Kerukunan (KSK)," imbuh Muslim.

 

Sudah sejak dulu, menurutnya, kabupaten yang dikenal sebagai Kota Pisang ini menjunjung tinggi kerukunan dan kedamaian serta melestarikan rasa toleransi di tengah-tengah masyarakatnya. Terbukti dengan sejarah berdirinya Pura Mandara Giri Semeru Agung yang berdasarkan alur ceritanya menyimpan kisah tentang toleransi serta sikap bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi keanekaragaman, tanpa terpisah tembok perbedaan. 

Dikutip dari laman Babadbali, cerita awal dibangunnya pura yang berlokasi di Jalan Serma Dohir itu karena dulu pemeluk agama Hindu di Bali merasa kesulitan dalam proses upacara Nuur Tirta dengan pengambilan air suci dari Patirtaan Watu Kelosot di kaki Gunung Semeru untuk dibawa ke Besakih di Bali. Mereka harus menempuh perjalanan darat sekitar 9-11 jam untuk memperoleh air itu. Biasanya mereka bermalam di kawasan Lumajang setelah upacara (dengan membawa air dari Watu Kelosot).

 

Kemudian, munculah keinginan untuk membangun pura di sekitar tempat upacara tersebut. Agar saat di Senduro umat Hindu bisa beribadah di pura bukan di Sanggar Pamujon. Hanya saja, perjuangan untuk merealisasikan pembangunan tidaklah mudah. Mereka harus berusaha keras mendapat izin pendirian dari pemerintah. Ikhtiar itu sempat mendapat penolakan dari Bupati Lumajang kala itu karena lokasi yang dipilih untuk pendirian berada di tengah permukiman yang mayoritas non-Hindu. Namun tak disangka, masyarakat di lokasi yang hendak didirikan pura malah memberi persetujuan. Hal ini menjadi modal besar terealisasinya pendirian Pura Mandhara Giri Semeru Agung. Bahkan, tak hanya memberikan izin, penduduk pun saling membantu dalam proses pembangunan.

 

Pura "Milik Bersama"

Sejarah toleransi pada proses pendirian pura ini pun tetap lestari hingga sekarang. Terbukti dengan difungsikannya Pura tidak hanya untuk aktivitas agama Hindu saja tapi juga untuk kegiatan-kegiatan umat Islam. Di antaranya sebagaimana diceritakan oleh Ketua PC PMII Lumajang, Ahmad Taufiq Hidayatullah. Taufik mengaku, pada 2019 lalu, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah menggelar Musyawarah Pimpinan Cabang (Muspimcab) bertajuk "Merawat Toleransi, Menjaga Persatuan" berlokasi di pura ini selama tiga hari berturut-turut. Dia mengapresiasi sikap toleransi yang ada di desa ini, terbukti dengan diterimanya PMII sebagai organisasi Islam di rumah ibadah umat Hindu. 

 

Saat di Desa Senduro pun dia merasa salut dengan keharmonisan kehidupan masyarakat di sana meski berbeda-beda keyakinan. Bahkan, terlihat masyarakat memaknai perbedaan adalah anugerah untuk saling mewarnai bukan untuk saling membenci. Mewarnai di sini, berarti kehidupan sosial keagamaan meraka tidak hanya sekadar dan sebatas menghargai tapi juga saling berkolaborasi.

 

"Jadi, tidak hanya hidup berdampingan tapi saling mengisi untuk kemajuan desa baik di sektor ekonomi, budaya dan kesehatan dan aktivitas sosial lainnya," ujarnya. 

 

Hal ini tampak ketika berkunjung di Desa Senduro, pengunjung akan melihat kotak-kotak koin ada di setiap rumah yang bisa diisi uang oleh masing-masing keluarga untuk keperluan masyarakat umum. Uang yang didapat dari kotak koin ini biasa dipakai untuk keamanan, kebersihan, dan juga kebutuhan desa lainnya. 

 

"Selain itu, di sana ketika ada orang yang meninggal, atau ada acara pasti saling datang membantu, memberikan doa sesuai kepercayaan masing-masing," imbuhnya. 

 

Guyub dengan Pawon Urip

Kepala Desa Senduro, Farid Rahman juga banyak berkisah tentang kekompakan warganya dalam menjaga kerukunan selama ini. Dia pun memaparkan filosofi-filosofi bangunan yang sering dipakai sebagai tempat nongkrong warganya yang menjadi bukti keharmonisan di desa yang dipimpinnya. Di antaranya yakni keberadaan Pawon Urip. "Pawon" berarti dapur dan "urip" berarti hidup. Ketika masuk gerbang lokasi ini, akan terlihat  bambu-bambu yang diikat kencang dan dihias sedemikian rupa sehingga tampak unik. 

 

"Bambu-bambu yang diikat menjadi satu ini melambangkan persatuan, dengan warna yang berbeda-beda diikat menjadi satu menjadi kesatuan dari seluruh umat, banyak warna, banyak perbedaan yang kita ikat menjadi satu menuju kampung guyub rukun di Desa Senduro," jelasnya dikutip dari Channel YouTube Wawasan Ilmu Hukum.  

 

Terlihat di dalam Pawon Urip ada  dapur umum sederhana lengkap dengan alat memasak di dalamnya, serta perapian kecil dengan kursi-kursi di sekelilingnya yang seringkali digunakan warga sekitar untuk mengobrol dan memasak bersama serta bermusyawarah untuk kemajuan desa. Bahan-bahan yang diolah untuk dimasak berupa Sembako pun berasal dari sumbangan warga hasil panen dari lingkungan pekarangan di sekitar mereka. 

 

Selain itu, di Pawon Urip juga ada tanaman-tanaman sumbangan dari masing-masing agama. "Tanaman-tanaman yang ditanam merupakan wujud shodaqoh semua umat, ada umat Kristen, Hindu, Islam dan umat agama-agama lainnya. Di sinilah (Pawon Urip) kita membentuk kerukunan dan keguyuban di Desa Senduro," pungkas Farid mengakhiri penjelasan. 

 

Implementasi moderasi beragama  yang dilakukan oleh penduduk Desa Senduro merupakan hal positif yang kini diapresiasi banyak orang. Dengan alasan ini, Kemenag Lumajang optimis deklarasi Lumajang sebagai Kabupaten Moderasi Beragama akan segera terealisasi. Dengan harapan, dengan adanya pendeklarasian bisa menjadi semangat warga untuk semakin meningkatkan kerukunan sehingga bisa memproteksi diri dari masuknya aliran-aliran sempalan dan kelompok radikal yang bisa merongrong nasionalisme, patriotisme dan menjadi pemicu konflik kebangsaan. 


Kontributor: Nidlomatum MR
Editor: Zunus Muhammad

 

==================== 
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Â