Nasional AICIS 2024

Rais PBNU Soroti Wacana Umat Islam Aktif di PBB untuk Bela Palestina

Sab, 3 Februari 2024 | 13:00 WIB

Rais PBNU Soroti Wacana Umat Islam Aktif di PBB untuk Bela Palestina

Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen saat menjadi pembicara dalam forum AICIS 2024, Jumat (2/2/2024). (Foto: NU Online/Indi)

Semarang, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen menyoroti kemungkinan keterlibatan umat Islam secara aktif di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wadah untuk membela Palestina.


"Bagaimana jika umat Islam itu aktif di PBB, bagaimana jika kami membela Palestina itu tidak hanya melalui agama, tetapi melalui PBB," ujar Gus Ghafur, sapaan karibnya, saat mengisi Religious Leaders Summit AICIS 2024 di UIN Walisongo, Semarang, Jumat (2/2/2024).


Dia juga menyoroti prinsip-prinsip penting yang diadopsi PBNU, termasuk prinsip trilogi ukhuwah yang menyatakan bahwa seluruh warga dunia adalah bersaudara, serta prinsip al imaniyah al muhayidah yang menguatkan prinsip-prinsip sekularisme yang netral.


"Banyak yang tidak mau menerima istilah sekularisme. Tapi, kami ingin menambah ini dengan kata-kata muhayidah, demokrasi adalah nilai-nilai sekuler yang netral, karena itu kami terima," tambahnya.


Gus Ghofur juga membahas upaya PBNU dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan dengan menggelar halaqah tentang fiqih peradaban secara masif, terutama di kalangan kiai-kiai desa yang dikenal sebagai kiai kampung.


"Ini adalah upaya kami untuk mendampingi masyarakat melewati krisis dengan penyelenggaraan fiqhul hadarah di kampung-kampung," ungkap Gus Ghofur.

 

Gus Ghofur juga menggambarkan ciri khas kehidupan modern yang diwarnai oleh perubahan sosial yang signifikan. 


Menurutnya, zaman dahulu kehidupan manusia lebih "terkotak-kotakan", di mana masyarakat hidup dalam komunitas yang terpisah berdasarkan agama dan etnisitas mereka. Namun, dengan kemajuan zaman, batasan antara kelompok-kelompok tersebut mulai kabur.


"Salah satu ciri dari kehidupan modern ini adalah kita ini hidup bersama. Dulu itu, hidup mungkin terkotak-kotak. Ada umat Muslim lalu mendirikan negara sendiri, umat Kristiani mendirikan negara sendiri lalu Majusi itu juga mendirikan negara sendiri," jabar dia.


Gus Ghofur menjelaskan bahwa dalam era modern ini, masyarakat hidup bersama-sama tanpa memandang agama atau etnisitas. Ini dianggap oleh banyak orang sebagai berkah, karena mencerminkan kekuatan yang muncul dari keragaman agama dan budaya yang menyatu. 


Namun, ia juga menyoroti sisi lain dari fenomena ini, yang dapat menimbulkan masalah besar yang jika dibiarkan berkembang, dapat berujung pada krisis.


Salah satu potensi krisis yang disoroti oleh Gus Ghafur adalah krisis keagamaan, di mana konflik antar-agama dan intoleransi dapat meningkat karena keragaman agama yang semakin menyatu. Selain itu, dia juga menyoroti kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan akibat dari ketegangan sosial yang dapat muncul akibat perbedaan kepercayaan dan identitas.


"Orang-orang menyebut ini adalah berkah, karena berarti kekuatan dari berbagai agama kekuatan dari berbagai etnis itu menyatu. Tetapi di sisi yang lain, ini bisa menimbulkan masalah dan masalah itu jika kemudian membesar akan menjadi krisis. Krisis keagamaan dan krisis Kemanusiaan," paparnya.