Nasional

Rais PWNU Jabar: Hoaks Bukan Hal Baru

Ahad, 28 Juli 2019 | 19:30 WIB

Rais PWNU Jabar: Hoaks Bukan Hal Baru

Rais Syuriyah PWNU Jabar (berdiri kiri)

Bandung, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Jawa Barat, KH Abun Bunyamin mengatakan, masalah yang santer membius akal sehat masyarakat Indonesia adalah hoaks atau berita bohong yang diciptakan oleh orang tak bertanggung jawab secara sistematis, terlebih kerap terjadi terutama saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 kemarin.
 
"Kita sering terbius dengan berita-berita yang muncul di media sosial (medsos) seolah-olah benar, padahal itu hoaks yang sengaja diciptakan untuk membuat kekacauan," ujar KH Abun Bunyamin, saat hadir pada kegiatan Diskusi Publik di Kota Bandung, Jawa Barat, Ahad (28/7)

Menurutnya, hoaks telah membuat dinamika di masyarakat bercerai berai. Jika kaitannya dengan ajaran Islam, hoaks sesungguhnya bukanlah hal baru. Hoaks sudah ada sejak zaman Nabi Adam, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi korban hoaks kaum munafiq.
 
Kala itu, ada musuh nabi yang menyebarkan bahwa istri Nabi Siti Aisyah telah berselingkuh. Kabar itu menjadi pemicu obrolan buruk bagi penduduk Arab saat itu.
 
Bagi Pengasuh Pesantren Al-Muhajirin Jawa Barat ini, apapun jenis hoaks jelas dilarang oleh ajaran agama karena akan berdampak buruk terhadap nilai-nilai sosial.
 
"Artinya, yang menyebarkan hoaks sudah pasti mendapatkan dosa sementara yang melakukan kebaikan tentu mendapatkan pahala. Kalau berkata benar mendapatkan pahala dan melakukan kesalahan pasti berdosa sebagaimana manusia. Manusia beriman hanya akan berkata benar,” ujarnya.

Ia sangat yakin bukan sistem demokrasi yang salah ketika negara Indonesia memiliki banyak persoalan melainkan sikap dari elit yang tidak bertanggung jawab.
 
 Justru kata dia, sistem yang hanya menekankan pada agama tertentu yang akan memecah belah. 

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati  Bandung, Mochamad Najib menuturkan, masih banyak sistem demokrasi Indonesia yang perlu disegarkan. 
 
Secara substansi demokrasi yang dianut Indonesia belum menyentuh kepentingan seluruh rakyat sehingga perlu diperluas dengan berbagai rumusan-rumusan baru oleh kalangan politik. 

Dia juga sepakat Indonesia harus maju dengan sistem yang ada seperti demokrasi tetapi kedaulatan rakyat harus benar-benar ditampilkan. 
 
"Jangan sampai, kelompok tertentu seperti partai Politik yang berkuasa dan membatasi gerak-gerik rakyatnya," ujarnya.
 
Dinamika negatif terkait politik di Indonesia terus ditangkal oleh berbagai elemen, mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, para pemuka agama, mahasiswa, dan kelompok pemuda. Organisasi sosial tersebut terus memperkuat nasionalisme melalui diskusi tematik terkait akar masalah dinamika yang mengancam perpecahan. 
 
Hal itu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan rasa cinta tanah air dan mempererat kerukunan sesama anak bangsa di berbagai daerah terutama di Jawa Barat.
 
Kegiatan diskusi ditutup dengan deklarasi Pemuda Jawa Barat dengan mengungkap tiga poin utama, yaitu. Pertama, Pemuda Jawa Barat akan menjaga nilai-nilai demokrasi sebagai bukti cinta terhadap tanah air. Kedua, Pemuda Jabar, akan menciptakan suasana aman damai dan tidak akan mudah terprovokasi, sebagai bentuk melawan hoaks. 
 
Ketiga, Pemuda Jabar akan mendukung semua lembaga pemerintah dan non pemerintah dalam upaya menegakkan sistem demokrasi. (Abdul Rahman Ahdori/Muiz)