Nasional MUNAS-KONBES NU 2017

Rangkap Jabatan Politik Jadi Pembahasan Hangat Komisi Organisasi

Jum, 24 November 2017 | 15:02 WIB

Mataram, NU Online 
Rangkap jabatan menjadi pembahasan hangat di Komisi Organisasi yang berlangsung di pondok pesantren Nurul Islam, Jalan Swasembada, Kekalik, Sekarbela, Kota Mataram, Jumat (24/11).  

Di sidang itu di bagi ke dalam dua bagian, Sub Komisi A dan Sub Komisi B. Sub Komisi A membahas penerimaan dan pemberhentian anggota, pengesahan dan pembekuan kepengurusan, rangkap jabatan, dan perangkat organisasi.

Sementara Sub Komisi B membahas wewenang dan tugas pokok organisasi pengurus, peraturan tata cara rapat organisasi, peraturan tentang pengukuran kenerja organisasi, daan pedoman administrasi organisasi.

Rangkap jabatan yang dibahas di Sub Komisi A yang dibahas terdiri dari tiga macam, yaitu pertama, rangkap jabatan di internal NU, baik di NU sendiri, lembaga dan banomnya. Misalnya seseorang menjadi pengurus PWNU, dalam waktu yang sama, ia menjabat di salah satu lembaga PBNU.  

“Itu sudah tidak ada lagi kompromi. Harus ditertibkan karena itu akan menghambat regenerasi NU,” tegas Andi Najmi seusai memimpin sidang, sesaat sebelum maghrib waktu Indonesia Tengah.  

Jalan keluar bagi seseorang yang rangkap jabatan itu, ia dipersilakan memilih salah satu. Jika ia tidak memilih salah satu, maka, oleh tim verifikasi diputuskan jabatan tertingginya. 

“Hal itu dilakukan tim verifikasi di tingkatannya masing-masing,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu. “Tim itu dibatasi untuk melakukan keputusan selama 180 hari kerja,” lanjutnya. 

Kedua, rangkap jabatan politik. Di Anggaran Rumah Tangga (ART) yang berlaku saat ini, pengurus harian tidak boleh merangkap jabatan dengan pengurus harian partai politik atau badan otonom yang berafiliasi partai politik. 

Kedua, jabatan yang dipilih (mandatori) di semua tingkatan mulai dari PB, PW, hingga Ranting, tidak boleh merangkap jabatan publik seperti presiden, gubernur, bupati, anggota DPR. 

Pada Konbes ini, penyusun draf Komisi Organisasi mengajukan perluasan. Artinya, tidak hanya mandatori yang tidak boleh merangkap jabatan publik, tetapi hal itu ditolak. 

“Pembahasan itu alot karena antara kelompok yang mendukung draf dan yang menolak,” lanjut Andi.  

Kelompok yang mendukung isi draf, menilai hal itu sangat baik untuk kemajuan NU ke depan, agar tidak terjadi seorang pengurus NU tidak punya waktu untuk mengurusi NU. Di sisi lain, jika terjadi rangkap jabatan, akan terjadi kerancuan di lapangan, misalnya kapan dia sebagai seorang pengurus part politik, kapan dia sebagai pengurus NU. 

Sementara yang menolak, sebaiknya saat ini memakai keputusan Muktamar Jombag terlebih dahulu, tetap ke Anggaran Rumah Tangga yang ada. Persoalan itu sebaiknya dibawa ke muktamar yang akan datang. 

Ketiga, rangkap jabatan dengan organisasi bertentangan NU seperti yang anti-Pancasila atau anti-Aswaja. Bahkan, dalam hal ini peserta sidang sepakat hal itu bukan hanya berlaku bagi pengurus, tapi juga bagi anggota. (Abdullah Alawi)