Nasional

Refleksi 2020: Dampak dan Hikmah Covid-19 di Pesantren

Rab, 30 Desember 2020 | 06:50 WIB

Refleksi 2020: Dampak dan Hikmah Covid-19 di Pesantren

(Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online
Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghaffar Rozin mengungkapkan berbagai dampak dari Covid-19 yang menimpa dunia pendidikan pesantren. Hal ini disampaikan guna melakukan refleksi atas musibah pandemi di pesantren.

 

Dampak tersebut bukan hanya dalam hal pendidikan. Namun terdapat banyak aspek yang terdampak di dunia pesantren adalah teknologi, ekonomi, dan tradisi.

 

Terlebih basis pendidikan di pesantren sangat mengandalkan metode muwajahah atau tatap muka. Hal itulah yang menjadi pembelajaran di pesantren sangat terganggu. Adanya metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara virtual pun masih kurang efektif.

 

"Tidak hanya problem karena sebelumnya tidak terbiasa melakukan pengajian secara online tapi juga persoalan yang sifatnya lebih kepada infrastruktur. Karena ternyata masih ada pelajar atau santri yang di daerahnya belum terjangkau akses internet,” ungkap Gus Rozin dalam webinar bertajuk Quo Vadis Pendidikan Pasca Pandemi, pada Selasa (29/12) malam.

 

"Banyak sekali santri-santri yang kehilangan kesempatan pengajian ketika dipulangkan atau semenjak PJJ ini dikenalkan," sambungnya.

 

Namun demikian, tetap ada hikmah yang dapat dipetik dari Covid-19. Pesantren saat ini terpaksa harus memahami dan menguasai penggunaan teknologi informasi. Para santri dan pesantren kini sangat familiar dengan kemajuan zaman. 

 

Dampak ekonomi

Di samping itu, Covid-19 juga berdampak pada ekonomi. Pesantren, wali santri, dan masyarakat di sekitar pesantren pun terganggu kehidupan perekonomiannya. Sejak pandemi datang, pesantren diperhadapkan pada prioritas anggaran yang lain.

 

"Pendidikan pesantren itu (biayanya) sangat terjangkau. Karena tidak pernah memikirkan kapan akan impas investasi pendidikannya. Semua yang dibayarkan santri itu kebanyakan kembalinya kepada santri sendiri. Sebagian besar anggaran di pesantren itu kembalinya ke pendidikan," tutur Gus Rozin.

 

Semula anggaran pesantren difokuskan pada persoalan pendidikan, biaya operasional, bisyarah ustadz, dan pengembangan infrastruktur. Namun saat ini, pesantren harus membagi anggarannya untuk menutupi persoalan kesehatan seperti menyiapkan klinik, ruang isolasi, melatih para Satgas Covid-19 di pesantren, dan membuat Poskestren. 

 

Dampak tradisi

Tradisi yang sudah berjalan di pesantren selama bertahun-tahun juga ikut berdampak. Selama ini, tradisi pesantren mengandalkan interaksi perjumpaan fisik. Namun kini tiba-tiba diarahkan untuk mencuci tangan terlebih dulu, memakai masker, dan menjaga jarak. 

 

"Dulu ketika shalat, kita diajari untuk menempati shaf yang renggang. Karena itu akan diisi oleh setan. Sekarang sejak Covid-19 melanda, kita diminta untuk shalat dengan jaga jarak. Itu kan terasa bersalah yang sangat tinggi," tutur Gus Rozin.

 

Oleh karena itu, Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Jawa Tengah ini mengungkapkan bahwa sangat wajar jika di pesantren terjadi penolakan sangat besar terhadap Covid-19. Bahkan secara umum, kata Gus Rozin, masih terdapat banyak pesantren yang menafikan virus mematikan itu.

 

Dampak kesehatan

Menurut Gus Rozin, aspek kesehatan pasti terdampak karena pesantren merupakan komunitas yang komunal. Ditambah sarana kesehatan dan sanitasi yang dimiliki sangat terbatas. Begitu pula soal asupan gizi di pesantren.

 

"Saya kira ke depan menjadi tantangan baru soal kesehatan dan imunitas baru. Sebab kesehatan juga mempunyai dampak multilevelnya. Karena ketika asupan gizi itu rendah maka berkaitan dengan imunitas," jelasnya. 

 

Peran RMI PBNU

Sejak Maret 2020 lalu, RMI PBNU sudah banyak berkontribusi dan memiliki peran dalam upaya menanggulangi Covid-19 di pesantren. Di antaranya menyusun protokol, melakukan sosialisasi, pencerahan, penyadaran, membuat rekomendasi kepada PBNU, dan melatih Satgas Covid-19 di pesantren.

 

"Tetapi pesantren sangat banyak dan terdapat 23 ribu pesantren yang berafiliasi dengan NU. Sumberdaya yang dimiliki RMI PBNU juga sangat terbatas. Sampai sekarang kami baru bisa melatih sekitar 700 satgas pesantren," terang Gus Rozin. 

 

Di samping itu, RMI PBNU juga membuat aplikasi Salamdoc. Sebuah ruang virtual untuk para santri di pesantren agar dapat berkonsultasi dengan dokter relawan. Konsultasi ini tidak sama sekali dipungut biaya. 

 

"Tapi bayarnya pakai (surat) Al-Fatihah. Sudah ada 90 dokter relawan yang ada di situ. Kalau ada santri yang daftar dan berkonsultasi seperti sesak nafas dan nyeri semua akan dilayani oleh salah satu dari 94 dokter relawan," katanya.

 

"Setelah selesai konsultasi hanya diminta untuk membayar Al-Fatihah kepada dokter itu. Insyaallah ini akan berkembang. Hal-hal semacam ini belum pernah terpikir dan tergarap sebelum ada pandemi. Ini adalah bagian dari hikmah," jelas Gus Rozin.


Krisis pendidikan akibat kesenjangan

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Syafiq Hasyim mengatakan bahwa sebenarnya krisis pendidikan telah terjadi sebelum adanya Covid-19. Terutama krisis yang diakibatkan oleh celah kesenjangan kemajuan antarnegara. 

 

"Menurut laporan yang diberikan Unesco, krisis pendidikan yang diakibatkan celah kesenjangan telah mengorbankan sekitar dua miliar anak. Mereka mengalami persoalan serius di dalam mengakses pendidikan. Nah apalagi ini ditambah dengan Covid-19," ungkap Syafiq. 

 

Lebih jauh ia mengatakan, di dalam tradisi NU disebutkan bahwa sekolah atau madrasah hanya sarana untuk proses pendidikan. Namun, kata Syafiq, pendidikan di tubuh NU sendiri pernah berjalan tanpa adanya tempat pendidikan. 

 

"Tanpa adanya sekolah dan madrasah itu pernah terjadi. Pendidikan dilaksanakan oleh orang tua dan orang-orang di sekitar yang memang mampu melakukan proses pendidikan terhadap anak-anak," tuturnya.

 

Syafiq lantas meminta untuk menarik hikmah dari adanya pandemi seraya bahwa NU memiliki kearifan lokal tersendiri. Warga NU sejak dulu, lanjutnya, seringkali melakukan fungsi pendidikan di dalam keluarga. 

 

"Karena kita pernah melakukan itu. Ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh kita juga pernah melakukan pendidikan tanpa tempat pendidikan. Jadi begitu kalau kita mau merasa berbangga atau optimis dan merasakan hikmah di balik Covid-19," pungkas Doktor Filsafat dari Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan