Opini

Merawat Tradisi dalam Sistem Penjaminan Mutu Pesantren

Sab, 26 Desember 2020 | 04:18 WIB

Merawat Tradisi dalam Sistem Penjaminan Mutu Pesantren

Pembelajaran di Pesantren Syubbanul Wathan Magelang, Jawa Tengah. (Foto: Istimewa)

Oleh Abdul Malik Karim Amrullah

 

Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 dan 31 tahun 2020 sudah diluncurkan oleh Menteri Agama Fachrul Rozi, sebelum beliau diganti oleh Gus Yaqut Cholil Qoumas. PMA ini merupakan simbol perhatian pemerintah terhadap eksistensi Pesantren yang selama ini sudah memberikan kontribusi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Ada satu bab khusus yang menarik penulis yaitu tentang Sistem Penjaminan Mutu Pesantren di Bab VII pasal 68. Dalam bab ini dibahas terkait sistem yang digunakan untuk melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan pesantren, untuk mewujudkan pendidikan bermutu, dan memajukan penyelenggaraan pendidikan pesantren. Sistem penjaminan mutu tersebut diarahkan pada aspek peningkatan kualitas dan daya saing sumberdaya pesantren, penguatan pengelolaan pesantren, peningkatan dukungan sarana dan prasarana (Sarpras) pesantren.

 

Dari pernyataan pasal tersebut sebenarnya cukup mengakomodasi kepentingan pesantren ke depan. Akan tetapi mungkin perlu kita kaji bersama beberapa pasal tersebut dengan segala situasi perubahan kebutuhan masyarakat terutama di zaman sekarang.


Pertama yang perlu dibahas yaitu seperti apakah mutu pesantren. Jika pertanyaan ini belum bisa dijawab, maka penjaminan mutu tidak akan bisa dicapai. Pasal 67 sebenarnya sudah menjawab tentang mutu pesantren yaitu kurikulum, lembaga, pendidik dan tenaga kependidikan serta lulusan. Namun penjelasan ini masih sangat luas untuk bisa diukur ketercapaiannya dan sangat tergantung pada kapasitas masing-masing lembaga untuk bisa memastikan dan menjamin kepada masyarakat bahwa pesantren ini memang layak menjadi pilihan masyarakat.

 

Untuk mendefinisikan ke empat standar mutu tersebut tentunya diperlukan peran Majelis Masyayikh untuk penjaminan mutu eksternal dan Dewan Masyayikh untuk penjaminan mutu internal.


Perlu diketahui bahwa penjaminan mutu itu harus dimulai pergerakannya dari dalam lembaga tersebut. Apalagi pesantren yang memang dikenal dengan kemandiriannya, sehingga pesantren memang betul-betul memiliki kekhasannya sesuai gaya kepemimpinan kiai. Dewan Masyayikh sangat menentukan dalam hal ini dan idealnya harus dipimpin oleh kiai itu sendiri untuk merencanakan, melaksanakan sekaligus mengembangkan penjaminan mutu di dalam pesantren.


Keberadaan Dewan Masyayikh sebagai lembaga penjaminan mutu internal di sini memang sangat krusial karena dewan ini bisa membawa pesantren kepada paradigma baru pesantren yang serba transaksional dan materialistis jika tidak hati-hati dalam mengelolanya. Penetapan mutu pasti akan menetapkan indikator ketercapaian yang harus bisa diukur yang itu sangat jauh dengan tradisi yang selama ini dikembangkan oleh kiai dalam pesantren.

 

Dalam mendefinisikan mutu, Dewan Masyayikh harus lebih substantif dengan menggunakan prinsip-prinsip secara umum saja dan tidak menggunakan ukuran-ukuran yang selama ini digunakan oleh lembaga penjaminan mutu seperti Badan Akreditasi.


Penetapan standar cukup dengan penetapan prinsip-prinsip pelaksanaannya saja misalnya mutu kurikulum pesantren. Dewan Masyayikh harus menentukan prinsip pelaksanaan mutu kurikulum, misalnya dengan melibatkan asosiasi pesantren atau pesantren induk jika memang merupakan cabang pesantren tertentu.

 

Secara tata kelola, memang pesantren akan memiliki data statistik yang baik sehingga Majelis Masyayikh sebagai Badan Penjaminan Mutu Eksternal lebih mudah memberikan pengakuan pada pesantren. Tradisi ini memang secara tidak langsung akan merubah tata kelola pesantren dengan perubahan perilaku organisasi di dalamnya, dan ini harus betul-betul diperhatikan oleh kiai sendiri agar tidak terjebak pada perilaku yang transaksional dan materialistis.

 

Bagaimanapun sistem penjaminan mutu akan menggerakkan seluruh elemen pesantren ke perilaku tersebut. Apalagi pemerintah akan memberikan bantuan untuk pelaksanaan manajemen mutu pesantren ini. Jangan sampai muncul perilaku merekayasa "Yang tak ada menjadi ada" agar bisa mencairkan bantuan dana tersebut. Jika perilaku ini muncul, maka pesantren sudah bukan lagi menjadi lembaga pendidikan pengembangan karakter yang selama ini sudah diakui dan menjadi contoh lembaga pendidikan nasional bahkan dunia.


Di era Pandemi Covid-19 ini pesantren menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan proses pendidikannya secara normal sesuai dengan tradisi lama. Dan secara umum yang menjadi kluster baru pesantren pun tergolong sangat minim. Ini berarti pesantren semakin menunjukkan eksistensinya dalam berbagai situasi dan kondisi dan menurut saya pribadi itu sudah bisa disebut bermutu secara substansi.

 

Harapan saya semoga penjaminan mutu di pesantren nanti tidak akan sampai merusak sendi-sendi pendidikan karakter yang selama ini berjalan dan tergolong berhasil dilaksanakan. Jargon al-Muhafaddatu ala al-Qadimi al-Salih wal Akhdzu bi al-Jadidi al-Aslah harus menjadi nilai adaptasi pesantren untuk eksis di setiap zaman dengan perubahan kebutuhan sosialnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.


Penulis adalah Ketua Lakpesdam Kabupaten Malang dan Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UIN Maulana Malik Ibrahim