Nasional

Robert Hefner Tegaskan Tokoh Agama Bisa Mainkan Diplomasi Global

Ahad, 19 Februari 2023 | 11:00 WIB

Robert Hefner Tegaskan Tokoh Agama Bisa Mainkan Diplomasi Global

Akademisi Amerika, Robert W Hefner (kiri) saat perbincangan dengan Ketua Lakpesdam PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Kepala negara adalah aktor penting dalam memerankan diplomasi di tingkat global. Melalui kebijakannya, kepala negara mampu menunjukkan kekuatan diplomasi yang didukung oleh perangkat negara lain sebagai sesuatu riil.


Menjadi pertanyaan, apakah tokoh agama bisa berdiplomasi tanpa adanya kekuatan riil sebagaimana perangkat yang dimiliki kepala negara? Bisakah modal simbolik yang dimiliki tokoh agama dimainkan dalam diplomasi global?


Pertanyaan itu diajukan KH Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada seorang akademisi Amerika yang sudah puluhan tahun meneliti Indonesia, Robert W Hefner. Hal ini sebagaimana pernyataan Robert dalam video yang diunggah kanal Youtube NU Online pada Sabtu (18/2/2023).


Merespons pertanyaan itu, akademisi yang akrab disapa Bob itu sepakat. Meskipun demikian, ia menambahkan bahwa organisasi agama memiliki sumber daya moral dan spiritual, juga aksi yang konkret.


"Saya sangat setuju dengan observasi Gus Ulil itu tadi. Tetapi juga saya mau tambah sesuatu observasi yang dimiliki oleh organisasi-organisasi agama, apalagi organisasi seperti NU yang merupakan organisasi yang paling besar di seluruh dunia, tidak hanya di dunia Muslim tapi di seluruh dunia, organisasi semacam ini mempunyai tidak hanya sumber daya moril atau spiritual atau agamis tetapi juga organisasi konkret organisasi konkret," kata Bob.


Bob menceritakan, kali pertama datang ke Indonesia untuk meneliti Tengger pada tahun 1979-1980, ia banyak bertemu dengan komunitas warga NU. Di tahun itu dan di daerah itu, Bob menyampaikan bahwa NU sudah berkembang dan jauh dari pandangan 'kolot' yang disampaikan para pengamat luar negeri lain.

 

Ia menemui sebuah pesantren di Kecamatan Ampelsari, di sebuah daerah berbukit-bukit. Di pesantren tersebut, ia melihat jalannya roda pendidikan hingga pelayanan untuk perempuan hamil.


"Di situ ada pendidikan, ada pelayanan untuk perempuan hamil, ada segala macam pekerjaan yang diselenggarakan NU yang di luar narasi yang dikembangkan di luar negeri tentang NU, NU seperti ini, NU adalah organisasi kolot yang mau membela kepentingan ulama," kata akademisi yang lahir 70 tahun lalu itu.


Pengamat luar negeri terhadap NU di zaman itu masih fokus membicarakan kepentingan politik sebagai efek dari tahun 1950-an, saat NU muncul sebagai salah satu partai pada Pemilu.


"Yang saya amati di Ampelsari walaupun itu 40 tahun yang lalu, itu menunjukkan bahwa NU sudah mulai betul-betul berubah tetapi tidak pernah seperti yang dibayangkan para pengamat luar negeri yang terlalu mementingkan kepentingan politik, kepentingan 50-an itu efek dari persaingan aliran," lanjutnya.


Merespons itu, Gus Ulil kembali mempertegas pertanyaannya, bahwa hal tersebut berarti apakah masih ada ruang bagi tokoh agama untuk menjadi aktor yang bermain dalam panggung global?


Ruang itu lebih besar daripada 20 atau 30 tahun yang lalu, menurut Bob. Ia mengaku sering diajak berbicara di Washington DC dan diajak tidak karena saya mempunyai keistimewaan apapun, tetapi karena ada pengakuan terhadap kondisi bahwa Indonesia dan masyarakat Muslim di Indonesia adalah orang yang penting pada tingkat global. 


"Dan ini sebuah sejarah dan masyarakat yang harus ditunjukkan harus dirayakan," ujar Guru Besar Universitas Boston, Amerika Serikat itu.


Mulai pertengahan 1990-an, menurutnya, sudah ada pengakuan baik di Amerika Serikat, Singapura, dan banyak negara-negara lain, terutama di kalangan akademisi, muncul pengakuan bahwa sekularisasi itu betul-betul keliru. Keluhan itu sangat nyata dan terlihat di negara seperti Indonesia.


Pengalaman NU yang sedemikian kaya dari segi politik, pelayanan sosial, pendidikan dan pendidikan moril sangat diakui dan dihargai. Hal tersebut menunjukkan bukti bahwa tokoh agama memiliki ruang untuk menjadi aktor penting dalam ranah global.


"Ini sesuatu yang sangat penting dan mulai dihargai, diakui di luar negeri. Jadi saya kira ada ruang," pungkasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan