Nasional

Ronggeng Dukuh Paruk dan Empati Ahmad Tohari

Sab, 5 Maret 2016 | 06:30 WIB

Jakarta, NU Online 
Membincang novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari, tidak pernah berhenti dari waktu ke waktu. Baik di ruang seminar-seminar besar, ataupun lewat diskusi kecil-kecilan. Pelaku pembicaraannya pun beragam usia. Tak keliru kiranya jika RDP dikatakan sebagai karya yang tak lekang ditelan zaman.
 
Hamzah Sahal selaku pendarus kehormatan di Komunitas Omah Aksoro Jakarta, Kamis ( 3/3) menyatakan, “RDP sebagai karya fenomenal Ahmad Tohari tidak sekedar membicarakan sosok perempuan bernama Srintil. Srintil dalam RDP adalah perempuan, itu hanya kebetulan. Tidak seperti Gadis Pantai, di mana Pramoedya Ananta Toer sengaja memilih tokoh perempuan.”

Menurut Hamzah,  RDP segaja menghadirkan sosok ronggeng dalam jenjang usia tertentu, dalam hal ini perempuan. Ia menganalogikan dengan muadzin, jika mengingat muadzin pasti lelaki. Hamzah berpendapat bahwa melalui RDP, Ahmad Tohari tidak sedang berbicara sebagai pembela feminisme.

Lebih jauh, Hamzah menyampaikan bahwa sebelum membahas RDP, pantas mengingat rentetan peristiwa yang terjadi di negeri ini. Di antaranya kisaran tahun 1825-1830, terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro.
 
“Setelah Perang Diponegoro, banyak karya seni muncul. Raden Saleh misalnya, tiga puluh tahun kemudian, dalam karya lukisnya berjudul Perang Jawa. Karya ini sekaligus menjadi kontratafsir dari pelukisnya, karena Pangeran Diponegoro dilukiskan tidak menunduk kepada Belanda,” kata pria kelahiran Losari, Cirebon ini.

Selain itu, lanjut Hamzah, Perang Diponegoro juga melahirkan karya puisi, termasuk Chairil Anwar menulis puisi tentang Pangeran Diponegoro. Masa berikutnya adalah Kebangkitan Nasional tahun 1908. Peristiwa ini pun banyak melahirkan karya, termasuk sastra. Sumpah Pemuda 1926 juga memicu orang untuk berkarya. 

Selanjutnya, momen penting Proklamasi Kemerdekaan. Peristiwa bersejarah ini memunculkan banyak sekali karya, bahkan dalam dunia sastra dikenal Angkatan 1945.  

Antara tahun 1945 hingga awal 1950, karya sastra kebanyakan lahir dari semangat revolusi, begitu juga tahun-tahun berikutnya. Novel Dari Hari ke Hari, karya Mahbub Djunaidi terbit tahun 1975 dikukuhkan sebagai pemenang sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Demikian pula Muhtar Lubis melalui Jalan Tak Ada Ujung timbul dari peristiwa revolusi.

Latar Peristiwa 65
Tahun 1965 terjadi peristiwa G30/S PKI. Setelah peristiwa berdarah itu, praktis tidak ada karya yang muncul dengan latar gerakan komunis. Ahmad Tohari melalui RDP menjadi pembuka kembali laju kebudayaan, meskipun dengan konsekuensi ditangkap dan masuk penjara.
 
“Salah seorang alumni Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat-di bawah PKI), menyebut RDP sebagai gerbang kebudayaan. Buku ini menjadi pembuka kebudayaan baru pasca 1965-1966,” terang Hamzah.

Alumni IAIN Yogyakarta ini kemudian memancing tanya, “sebetulnya mengapa karya ini bisa muncul terus pada waktu itu, meski Tohari bukan tanpa halangan agar RDP terbit terus? Apakah karena Ahmad Tohari adalah orang NU, sehingga buku ini terus berjalan, didiskusikan, diterjemahkan ke banyak bahasa?”

Hamzah mengatakan, untuk sementara memang itulah jawabannya. Ia berargumen bahwa Ahmad Tohari telah menceritakan proses penulisan RDP dan pengalaman-pengalamannya di tabloid Warta NU pada tahun 1986-1987.

Alasan lain, kata Hamzah, Tohari lahir di tengah-tengah keluarga pesantren yang tentunya memiliki hubungan kuat dengan NU. 

Bercerita tentang RDP juga mengingatkan Hamzah pada warna khas tulisan Tohari. Menurut Hamzah, Tohari begitu kuat ketika bercerita soal kemanusiaan. Tohari ekspresif sekali bicara tentang orang-orang yang tertindas. Misalnya, karakter Kang Sakum, penabuh kendang yang buta di grup penabuh calung yang mengiringi Srintil setiap kali tampil.

“Dia sangat lancar dan fasih (menuliskan kisah Kang Sakum). Kayak dari hati yang terdalam,” ujar pria dua anak ini.

Tohari, sambung Hamzah, juga begitu empati dengan keadaan sosial, kebudayaan, ekonomi, maupun politik. Ia bekerja dengan nyata. 

Hamzah teringat Anton Chekhov, novelis asal Rusia yang juga melakukan kerja sosial sebagai seorang dokter. Tohari melakukan hal yang sama. Di kampungnya, Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, Tohari melakukan advokasi sosial secara ekonomi dengan mendirikan lembaga keuangan untuk membantu masyarakat kecil. “Tohari tidak hanya bicara, tetapi juga berbuat,” terang Hamzah diamini oleh peserta diskusi yang hadir malam itu.

Hamzah merasa bangga karena Tohari menulis dengan baik padahal ia lahir di komunatis santri.  Hamzah berpandangan secara de facto, Tohari melalui RDP mewakili suara NU khususnya kaum muda yang waktu itu (1980-an) dikomdoi Gus Dur.

Uraian Hamzah beserta segenap argumentasinya itu agaknya bersesuaian dengan niat Omah Aksoro yang mengangkat kisah RDP karya Ahmad Tohari. Fariz Alniezar sebagai pendiri Omah Aksoro menganggap penting menghadirkan Tohari karena karyanya begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, di samping tema seputar pedesaan. Selain itu, Ahmad Tohari juga pantas diteladani oleh generasi kini dengan tradisi membaca dan menulis yang dimilikinya. (Kendi Setiawan/Zunus)