Nasional

SE Menag: Volume Pengeras Suara Masjid dan Mushala Maksimal 100 Desibel

Sel, 22 Februari 2022 | 20:00 WIB

SE Menag: Volume Pengeras Suara Masjid dan Mushala Maksimal 100 Desibel

“Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel),” begitu bunyi poin c bagian Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara surat edaran tersebut.

Jakarta, NU Online

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Mushala melalui Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 yang ditandatangani pada 18 Februari 2022 lalu. Di dalam surat tersebut, diatur volume maksimal pengeras suara masjid dan mushala adalah 100 db.


“Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel),” begitu bunyi poin c bagian Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara surat edaran tersebut.

 


Pemasangan pengeras suara di masjid dan mushala ini perlu dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam. Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/mushala, sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/musala.


Untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik. Sementara dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, Menag mengingatkan hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, shalawat/tarhim.


Hukum Mengeraskan Suara Azan

Sebagai informasi, beberapa hadits memang menganjurkan azan dengan suara keras dan maksimal, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari berikut.


Artinya, “Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata kepadanya, ‘Sungguh aku melihatmu menyenangi kambing dan daerah badui (pedalaman). Maka bila kamu sedang (mengembala) kambingmu atau sedang di daerah pedalamanmu lalu adzan untuk shalat, maka keraskanlah suara azanmu. Sebab, sungguh tidak lah jin, manusia, dan makhluk apa pun yang mendengar ujung suara muazin kecuali akan menjadi saksi yang menguntungkan baginya di hari kiamat.’ Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, ‘Aku mendengarkannya dari Rasulullah SAW,’ HR Al-Bukhari,” (Lihat Muhamad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Daru Ibni Katsir: 1407 H/1987 M], juz I, halaman 221).

 


Hadits tersebut belum menjelaskan secara terang ketika dalam suatu kondisi volume adzan melalui pengeras suara terlalu keras. Dalam konteks ini semestinya penggunaan pengeras suara diukur sesuai kebutuhan jamaah dan tidak berlebihan, seiring firman Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 19.


Artinya, "Biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras)."


Ayat tersebut secara tegas menunjukkan watak bahwa Islam menganjurkan orang untuk berjalan dengan jalan yang sedang, tidak terlalu lambat maupun terlalu cepat. Islam juga mengajarkan agar manusia mengendalikan suaranya, yaitu agar bersuara dengan suara yang sedang, tidak terlalu pelan dan tidak terlalu keras. Artinya, suara yang telalu keras dan memekakkan telinga dianggap sebagai suara yang paling tidak disenangi.


Saat menjelaskan ayat ini pakar tafsir berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”


Pewarta: Syakir NF

Editor: Alhafiz Kurniawan