Nasional

Sejak Dulu, Hubungan Agamawan dan Pemerintah di Nusantara Tak Terpisahkan

NU Online  ·  Rabu, 13 Maret 2019 | 12:15 WIB

Jakarta, NU Online
Akademisi Unusia Jakarta Zastrouw Al-Ngatawi menyatakan bahwa secara sosiologis dalam berbagai literatur klasik seperti babad dan serat, hubungan antara agamawan dan pemerintah tidak bisa dipisahkan.

“Seorang pimpinan negara mesti itu didampingi seorang brahmana,” kata Zastrouw saat mengisi Diskusi Publik yang diselenggarakan Majelis Ulama dan Umara Nusantara (Maulana) di Rumah Pergerakan Gus Dur di Kalibata Timur, Rabu (13/3).

Ia mengatakan bahwa keberadaan hubungan keduannya menjadi bukti bahwa sejak dulu, bangsa nusantara merupakan bangsa yang beragama. Hubungan itu terjadi sejak zaman dulu hingga sekarang hanya saja pola hubungannya sering berubah.

“Maka setiap pemimpin negara mulai dari nusantara zaman Salakanegara sampai hari ini mesti peran agamawan entah brahmana, ulama menjadi sesuatu yang integrated (terintegrasi) dan tidak bisa dipisahkan,” jelasnya.

Menurutnya, ketika pemerintahan masih dalam bentuk kerajaan maka yang raja yang memiliki kekuatan, tetapi keberadaannya menjadi pelaksana dari saran-saran agamawan. 

“Jadi posisi raja-raja itu mesti harus ada brahmananya. Kalau gak ada brahmananya, dia gak bisa karena kekuasaan pada zaman itu diberi,” ucapnya.

Oleh karena kekuasaan diperoleh atas pemberian, sambungnya, seorang calon pemimpin tidak perlu melakukan sosialisasi atau kampanye. Seorang calon pemimpin sejak kecil disiapkan kepada agamawan untuk dididik baik tentang ilmu-ilmu spiritual maupun professional.

“Sehingga posisi seorang agamawan adalah mendirect ,menjadi konsultan sekaligus menjadi penjaga moralitas kekuasaan,” ucapnya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)