Jakarta, NU Online
Maraknya penyebaran kabar bohong atau hoaks telah secara nyata mengancam ketertiban sosial. Tetapi yang paling berbahaya adalah hoaks bermotif ideologis, yaitu radikalisme agama.
Demikian disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi. Hal tersebut dikemukakan pada seminar bertajuk Peran Generasi Islam Menyambut Pemilu Damai tanpa Hoax dan Radikalisme di kampus PTIQ, Jakarta, Selasa (4/12).
Sebab, menurut Kholid, motif ideologis menganggap bahwa Indonesia ini kawasan perang (dâr al-harb). Sementara dalam Islam, hukum perang membolehkan dusta dan tipu daya berdasarkan hadis al-harb khud'ah (perang itu tipu daya).
"Anggapan Indonesia sebagai dâr al-harb ini bahaya sekali. Bukan hanya hoaks, harta orang lain pun dianggap fa'i yang boleh dirampok. Inilah ancaman terbesar terhadap narasi kebangsaan kita," ungkapnya.
Menurutnya, motif ideologis berakar kuat pada gerakan fundamentalisme agama yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Hal itu bisa dilihat pada sekitar 1970, Komando Jihad, penerus gerakan DI/NII Kartosoewirjo, aktif menyebarkan hoaks dengan melempar isu yang hampir sama: kristenisasi dan ancaman Cina-komunisme. Salah satu aktornya adalah Danu Muhammad Hasan.
Pada saat itu, sambungnya, Danu menyebarkan propaganda bahwa Komunis internasional akan melakukan kudeta paling lambat pada tahun 1980 dan bahwa saat ini 50 ribu tentara komunis telah berhasil disusupkan. Demikian pula 50 ribu lagi akan masuk dari Hongkong sebagai imigran gelap, dan 2 juta orang akan menyusul melalui Serawak.
"Isu ini terus didaur ulang dan laku di kalangan Islam konservatif sampai sekarang," tegas Kholid. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)