Nasional MUNAS-KONBES 2021

Selain Covid-19, Perubahan Iklim Jadi Ancaman Baru Dunia

Ahad, 26 September 2021 | 15:00 WIB

Selain Covid-19, Perubahan Iklim Jadi Ancaman Baru Dunia

(Foto: Environment Indonesia Center)

Jakarta, NU Online
Perubahan iklim menjadi ancaman baru dunia selain pandemi wabah virus Covid-19. Akan tetapi, menurut dr H Syahrizal Syarif, respons untuk isu pemanasan global ini cukup sedikit. Sehingga ia menilai isu perkembangan global ini sangat patut dibawa ke arena Muktamar NU 2021.


“Program kerja saat ini sangat sempit. Nah, di muktamar nanti harus kita antisipasi untuk program  ke depan. Kita perlu melihat perkembangan global, karena ada dilema dengan kepentingan industri. Kita harus membicarakan masa depan,” kata dr Syahrizal di forum Komisi Program Kerja Munas-Konbes 2021 di Jakarta kemarin.


Mengutip BBC, jumlah hari yang suhunya di atas 50 derajat celcius telah meningkat di setiap dekade. Antara tahun 1980 hingga 2009, rata-rata suhu melewati 50 derajat celcius terjadi sekitar 14 hari dalam setahun.


Pada 2010 hingga 2019, jumlahnya meningkat menjadi 26 hari dalam setahun. Lalu pada periode yang sama, suhu 45 derajat celcius ke atas terjadi rata-rata dua minggu lebih dalam satu tahun.


“Peningkatannya bisa 100 persen dikaitkan dengan pembakaran bahan bakar fosil,” kata direktur asosiasi Environmental Change Institute di University of Oxford, Dr Friederike Otto dikutip NU Online dari BCC.


Analisis BBC juga menemukan bahwa dalam dekade terakhir, suhu maksimum meningkat 0,5 derajat celcius dibandingkan dengan rata-rata jangka panjang pada periode 1980-2009.


Peningkatan ini memang belum dirasakan secara merata di seluruh dunia, namun dampaknya akan memengaruhi seisi Bumi. Eropa Timur, Afrika bagian selatan, dan Brasil mengalami kenaikan suhu maksimum lebih dari 1 derajat celcius, dan sebagian Kutub Utara dan Timur Tengah mencatat kenaikan lebih dari 2 derajat celcius.


Dilansir dari Reuters, laporan dari para ilmuwan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengatakan bahwa manusia adalah penyebab permasalahan ini. Gelombang panas mematikan, angin topan dalam skala besar, dan cuaca ekstrem lain yang sudah terjadi, diperkirakan akan menjadi lebih parah.


Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menggambarkan laporan ini sebagai kode merah untuk kemanusiaan atau code red for humanity.


“Ini adalah alarm peringatan keras. Laporan ini menegaskan perlu menghentikan penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil, sebelum mereka menghancurkan planet kita,” kata Guterres.


Laporan IPCC itu menegaskan, dunia perlu mengambil langkah tegas, segera, dan dalam skala besar untuk mengurangi emisi.


Nilai Ekonomi Karbon 
Oleh karena itu, PBNU dalam forum Bahtsul Masail Munas-Konbes 2021 mendukung penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam konteks kompensasi kerugian atas kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat emisi karbon.


Fungsi penerapan pajak emisi karbon dikatakan Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah, H Sarmidi Husna, harus konsisten dengan tujuan utamanya, yakni perbaikan lingkungan hidup dan upaya pengalihan energi berbasis fosil untuk energi terbarukan. Sehingga bukan semata-mata berpacu pada pemasukan pendapatan negara.


“Penerapannya harus disinkronkan dengan perdagangan karbon (carbon trading) sebagai bagian dari roadmaps green economy dan harus ada pembahasan ulang tentang cara penghitungan karbon agar tidak dapat digunakan alat persaingan bisnis,” pesannya.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori