Nasional

Soal BPJS, Pemerintah Jangan Bicara Untung Rugi

Ahad, 10 November 2019 | 00:30 WIB

Soal BPJS, Pemerintah Jangan Bicara Untung Rugi

Pengamat Sosial Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rizqon Syah. (Foto: NU Online/Rahman)

Jakarta, NU Online

Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih menjadi isu yang terus disoroti oleh berbagai kalangan. Kendati sudah ada lampu hijau dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait usaha untuk mensubsidi peserta BPJS kelas tiga, masalah tersebut tetap menjadi kekhawatiran tersendiri mengingat belum ada keputusan resmi dari pemerintah.

 

Pengamat Sosial Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rizqon Syah menuturkan pemerintah jangan sekali-kali bicara untung rugi ketika ingin melakukan subsidi untuk peserta BPJS Kesehatan kelas tiga. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah mensejahterakan kehidupan rakyatnya sebagaimana pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

 

Ia menegaskan, subsidi kepada kelas tiga peserta BPJS Kesehatan oleh pemerintah sudah sangat tepat mengingat kondisi masyarakat yang masih membutuhkan bantuan. Dengan kebijakan tersebut, maka kehadiran negara dirasakan masyarakat kalangan bawah.

 

“Kalau bicara untung rugi pemerintah sangat kapitalistik ya berat, semua yang mampu membayar ya digilas habis,” kata Rizqon dihubungi NU Online di Jakarta, Sabtu (9/11).

 

Ia mengungkapkan jika menelusuri makna di pembukaan UUD 45 bahwa negara harus mensejahterakan kehidupan bangsa, maka pemerintah memang harus berkorban untuk masyarakat, salah satunya berkorban untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

 

“Jadi menurut saya tidak ada untung rugi, memang negara harus berkorban ya bekorban memang ini ‘kan memang berkelas penduduk kita, ada rendah, menengah dan atas, intinya terjadi stratifikasi sosial, ekonomi juga begitu,” ucapnya menegaskan.

 

Selain itu agar pengelolaan BPJS Kesehatan berjalan maksimal tidak ada hal-hal krusial di masyarakat, pengelolaan BPJS oleh pemerintah harus transparan terutama menyangkut dana lantaran uang tersebut hasil iuran masyarakat.

 

“Artinya pengelolaanya benar-benar diketahui oleh publik. Paling penting ketika BPJS atau pemerintah sudah transparan mengelola dana masyarakat ini tentunya semua akan merasa diterangi penejalsan-penjelasan tentang bagaimana pengelolaan dana ini untuk kesejahteraan,” tuturnya.

 

Seperti diketahui, Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden no 75 tahun 2019 resmi menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen. Aturan itu berlaku untuk semua peserta BPJS Kesehatan baik peserta bukan penerima upah maupun peserta bukan pekerja.

 

Aturan kenaikan yang diteken Presiden Joko Widodo pada Kamis (24/10) tersebut merupakan perubahan atas Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besaran iuran yang harus dibayar masyarakat antara lain Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.

 

Namun kemarin, Menteri Kesehatan RI dr Terawan Agus Putranto berencana melakukan subsidi untuk peserta BPJS Kesehatan kelas III. Saat ini, pihaknya masih melakukan koordinasi dengan beberapa kementerian terkait termasuk dengan Presiden Joko Widodo.

 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Aryudi AR