Nasional

Strategi Pertahankan Otoritas Islam Nusantara

Sen, 10 Februari 2020 | 06:30 WIB

Strategi Pertahankan Otoritas Islam Nusantara

Suasana sesi panel 1 dengan tema Sumber-sumber Tekstual-Material dan Otoritas Keagamaan dalam Islam Nusantara pada Simposium Nasional Islam Nusantara yang digelar di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Sabtu (8/2). (Foto: NU Online/Ubaidillah)

Jakarta, NU Online
Islam datang ke Nusantara belakangan ini, jauh setelah wilayah Timur Tengah, Asia Tengah, Eropa, Asia Selatan, baru kemudian hadir di Nusantara yang berada di wilayah Asia Tenggara. Namun, keislaman masyarakatnya tak lagi diragukan. Kuatnya jaringan intelektual di dalamnya berpengaruh besar terhadap corak keislaman dunia saat ini.

Pengajar Fakultas Islam Nusantara Ahmad Ginanjar Syaban menyampaikan sebuah tesis yang ditulis oleh Sayid Hasan Syuaib di Fakultas Tarbiyah Universitas Ummul Qurra yang menyebutkan bahwa 60 persen pengajar Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram adalah ulama Nusantara.

“Ini yang Syafi’i 60 persen pengajarnya dalam masa awal Saudi adalah Jawiyun, ulama dari Nusantara, baik yang datang ke Makkah ataupun lahir di Makkah dalam rentang abad 20,” katanya saat menanggapi pemaparan narasumber pada sesi panel 1 dengan tema Sumber-sumber Tekstual-Material dan Otoritas Keagamaan dalam Islam Nusantara pada Simposium Nasional Islam Nusantara yang digelar di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Sabtu (8/2).

Tentu saja, lanjutnya, murid para ulama Nusantara itu adalah orang-orang seluruh dunia. Ginanjar menghitung terdapat lebih dari 40 pengajar asal Nusantara di Masjidil Haram pada masa awal Kerajaan Saudi. Dari sini, ia berkesimpulan bahwa wilayah Nusantara memiliki lompatan besar dalam sejarah keislaman dunia. Artinya, meskipun kehadirannya belakangan, namun memiliki pengaruh besar dalam mewarnai dunia Islam dan Islam di dunia.

Oleh karena itu, ia mengusulkan dua hal agar otoritas Islam Nusantara tetap terjaga, yakni perlu menyusun katalog karya ulama Nusantara dan hagiografi ulama Nusantara. “Kita perlu menyusun, Fihris al-Muallafat bi al-Ulama al-Jawiyah, Katalog Karya Ulama Nusantara dalam banyak bahasa, kedua bikin Tabaqat Ulama Nusantara,” kata filolog alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada acara yang digelar oleh Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.

Baginya, filologi atau ilmu pernaskahan tidak cukup untuk mengkaji naskah tulis tangan saja. Ia lebih sepakat dengan perluasan kajiannya yang juga mencakup naskah cetak kuno sebagaimana yang juga sudah dilakukan di beberapa negara lainnya.

Sementara itu, Arkeolog Universitas Indonesia Ali Akbar menyebutkan bahwa memang strategi paling tepat, sebagaimana disampaikan oleh Syafiq Hasyim pada pemaparan sebelumnya, adalah harus bermain di dunia digital. Jika tidak, menurutnya tidak akan dikenal di tingkat global. “Salah satu strategi yang tepat kita harus main di digital,” katanya.

Di samping itu, lanjutnya, hal yang perlu dilakukan lagi adalah presentasi mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern. “Ilmu-ilmu modern kita pakai untuk menafsirkan Al-Qur’an. Itu kita bawa ke Yordania, kita bawa ke Mesir, dipresentasikan di Universitas Al-Azhar. Model-model itu bisa kita terapkan. Kita punya produk berupa buku, hasil karya ulama zaman sekarang disebarkan ke ulama-ulama di negara lain,” jelas pengajar di Fakultas Islam Nusantara Unusia itu.

Adapun Guru Besar Filologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman mengusulkan perlunya NU sebagai lembaga paling otoritatif dalam keislaman untuk membuat pusat penelitian sumber tekstual Nusantara, tidak sekadar manuskrip. Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh KH Ali M Abdillah saat menanggapi pemaparannya.

Pasalnya, jelas Oman, sampai hari ini, belum ada satu lembaga pun di Indonesia yang berupaya untuk menghimpun sumber-sumber tekstual tersebut. Padahal hal itu, merupakan sumber primer dalam kajian Islam Nusantara.

Sitasi Ulama Nusantara
Otoritas keulamaan Indonesia juga perlu dijaga dengan sitasi, pengutipan, pandangan ulama Nusantara, tidak hanya pada ulama Timur Tengah. Hal itu disampaikan oleh Pengajar Fakultas Islam Nusantara Unusia KH Ulil Abshar Abdalla saat menjadi narasumber pada sesi panel yang sama.

Dalam mengutip Ihya Ulumiddin, misalnya, tidak perlu langsung merujuk ke kitabnya, tetapi mengutip dari terjemahan ulama Nusantara, Kiai Misbah, misalnya. “Kama qala (sebagaimana kata) Kiai Misbah dalam terjemahnya terhadap Ihya,” ujar pengampu Ihya Ulumiddin daring itu.

Menurutnya, sitasi sangat penting mengingat otoritas terbentuk dari cross referencing, saling merujuk sesama sarjana. Jika kutipan yang dilakukan oleh para ulama atau intelektual Indonesia selalu pada ulama Timur Tengah, maka harapan terjaganya otoritas ulama Indonesia tidak akan berhasil. Karenanya, kiai asal Pati, Jawa Tengah itu mengingatkan perlunya mengutip pandangan Kiai Kholil Bangkalan, misalnya, atau Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, ataupun KH Maimoen Zubair.

“Sitasi membuat reputasi seseorang semakin otoritatif. Samalah dengan Google Scholar sekarang. Indeksnya makin tinggi, itu dianggap sarjana otoritatif. Kalau tidak sitasi sendiri, maka kita tidak berhasil membangun otoritas ulama Nusantara. Karena itu, saya ingin mengajak teman-teman galilah teks-teks lokal di Indonesia,” pungkasnya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi