Nasional

Sudah Saatnya Kalangan Santri Mengkaji Arsip

Ahad, 11 Maret 2018 | 00:00 WIB

Tangsel, NU Online
Sejarah akan selalu ditulis oleh persepsi para penulisnya. Ada beberapa penulis sejarah yang benar-benar menulis dengan sudut pandang objektifitasnya, tetapi tak jarang pula dengan sudut pandang subjektivitas demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. 

Untuk menghindari hal tersebut, maka sebagai kalangan santri harus turut andil dalam menuliskan sejarah Indonesia, yang di dalamnya banyak didominasi oleh orang-orang Islam.

Salah satu sumber primer dalam menggali sejarah adalah arsip. Arsip merupakan kempulan dokumen kedinasan atau dokumen pribadi yang diproduksi pada masa Hindia Belanda sekitar abad 18-19. 

“Kajian arsip kolonial di lingkungan PTIN (Perguruan Tinggi Islam Negeri) itu tidak diminati, justru yang gencar melakukan kajian itu adalalah orang-orang dari kalangan universitas umum seperti UI, UGM, Undip,”  kata Johan Wahyudhi saat mengisi kajian rutin Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (10/3).

Menurutunya kita memiliki gagasan besar 'Islam Nusantara', namun ketika dihadapkan dengan pertanyaan bagaimana kondisi masyarakat Jawa abad ke-19? bagaimana mereka bergaul dengan kalangan elit? bagaimana persinggungan orang-orang Islam dengan para kolonial saat itu? Kita justru lemah akan informasi-informasi mengenai tersebut. 

Pada masa-masa itu arsip-arsip kolonial sangat gencar menyuarakan tentang orang-orang Islam. “Tentu saja dengan sudut pandang Neerlando sentris (melihat orang-orang Islam dengan sudut pandang kolonial),” tambahnya. 

Arsip-arsip tersebut ditulis demi kepentingan Belanda sebagai bangsa yang menguasai dan memandang orang-orang pribumi sebagai orang-orang yang diperintah. Islam yang dilihat sebagai agama yang membawa kedamaian, justru dengan sudut pandang Belanda adalah suatu ancaman.

“Untuk itu, harusnya dari kalangan santri ada yang menulis sejarah Indonesia untuk meluruskan pemahaman sejarah sebagai sudut pandang orang-orang Islam,” tegasnya. (Nuri Farikhatin/Kendi Setiawan)