Nasional

Suluk Maleman Bicarakan Manusia di Abad Kemunafikan

Ahad, 16 Oktober 2016 | 16:27 WIB

Pati, NU Online 
Diskusi Suluk Maleman kembali digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia Pati, Jawa Tengah pada Sabtu (15/10) hingga Ahad (16/10) lalu. Diskusi budaya itu pun kembali menghadirkan sosok nyentrik sang presiden Jancukers Sujiwo Tedjo.

Lagi-lagi seniman dan budayawan itu kembali melontarkan pertanyaan yang begitu menggelitik. Kepada para peserta, Sujiwo Tedjo menanyakan hakikat dari kemunafikan itu sendiri.

Baginya, bersikap marah atas tindakan yang tidak mengenakkan adalah bentuk suatu kewajaran. Karena hal itu dikatakannya adalah bagian naskah yang sudah dibuat oleh Tuhan.Dirinya justru menyoroti apakah ucapan belasungkawa saat ada orang meninggal dunia adalah bentuk kemunafikan atau tidak. Sedangkan manusia juga semua tahu kalau meninggal adalah bagian dari takdir Tuhan.

“Sekarang mana yang lebih munafik apakah sosok Rahwana yang memiliki sepuluh muka yang terlihat atau manusia yang memiliki satu muka yang terlihat, namun bisa jadi juga memiliki ribuan yang tidak terlihat?” ujar Sujiwo Tedjo membuka diskusi budaya tersebut.

Meski begitu jawaban dari pertanyaan Mbah Tedjo itu mampu dijawab dengan apik oleh budayawan Anis Sholeh Baasyin. Menurutnya yang membedakan kemunafikan seseorang itu bisa terlihat dari niat seseorang.

“Sebenarnya lebih kepada bagaimana cara kita membaca naskah Tuhan. Kita bisa terlibat dengan naskah Tuhan tapi jangan sampai memasukkan ego kita di dalamnya,” terang pengurus Lesbumi PBNU ini.  

Dirinya pun kembali mencontohkan cerita Syaidina Ali. Meskipun dalam kondisi perang yang tentu sah untuk membunuh atau terbunuh, namun Sayidina Ali menghentikan pertarungan lantaran musuhnya meludahi wajahnya. Pahadal saat itu lawannya telah tidak berdaya dan terjatuh.

“Tentu saja kita boleh marah namun jangan sampai ada kebencian. Pertarungan Sayidina Ali itu dihentikan lantaran takut niatnya sudah tercemari dengan sikap bencinya,” demikian ujarnya.

Oleh karenanya Anis menegaskan agar setiap manusia patut untuk selalu mengevaluasi diri. Ada proses-proses yang harus dilalui untuk menemukan jati diri. Setiap manusia harus berupaya memotong kepala-kepala lain yang muncul dan tidak sesuai dengan jati dirinya.

“Tentu cara membaca naskah Tuhan bisa bermacam-macam. Yang jelas bagaimana diri kita berupaya menjadi dewasa,” tambahnya.

Meski begitu dirinya pun mengamini saat ini banyak pula manusia-manusia munafik. Banyak pejabat yang rusak namun di depan masyarakat selalu terlihat berpura-pura baik. Belum lagi banyak media sosial yang saat ini berisikan fitnah-fitnah. Bahkan terkadang mengarahkan pada kebencian tertentu.

“Apalagi jika yang membacanya tidak pernah tabayyun atau mencari kejelasan hingga jelas kebenarannya. Zaman ini dengan segala media menjadi ajang manipulasi. Padahal nabi tidak pernah sekali pun berkata bohong. Selalu mengajarkan pada kita didalam kejadian apapun harus mengatakan yang benar,”ujarnya.

Padahal Islam jelas merupakan prinsip semesta. Selalu menyerahkan diri kepada Tuhan. Tidak ada semesta yang tidak terkait dengan kehendak Allah. Meski cara Allah memanggil umatnya dengan jalan berbeda-beda. Baik lewat ujian maupun cobaan.

“Semua agama pun pasti berujung untuk memuliakan manusia hingga pada akhirnya nanti mencapai peradaban yang mulia. Seharusnya orang yang merendahkan kemanusiaan itulah yang harus kita tentang.  

Dirinya juga mengingatkan, semakin tinggi manusia dicoba maka akan semakin berharga. Seperti halnya air keras hanya akan digunakan untuk emas karena logam lainnya tidak akan mampu bertahan.

Bagi Sujiwo Tedjo sendiri naluri akan terbentuk dari perenungan. Evaluasi dan perenungan itu akan menjadi dasar saat bersikap. Dirinya sendiri selalu mencari perenungan utnuk menemukan bahwa segala yang terjadi adalah karena naskah dari Tuhan.

Dengan diskusi yang menarik itupun membuat ratusan hadiri menjadi ikut larut didalamnya. Apalagi Ilyana Ilyas, putri dari Dr Ilyas turut meramaikan dengan menyanyikan lagu Bengawan Solo. Lagu itu juga turut dibawakannya saat menjadi perwakilan Indonesia di Cina baru-baru ini.

Suasana juga kian mencair saat Sujiwo Tedjo turut bernyanyi berkolaborasi dengan Sampak GusUran. Diskusi budaya itu sendiri baru rampung pada Minggu (16/10) sekitar pukul 02.30 kemarin.

Yang menarik, acara Suluk Maleman ini setidaknya selama dua bulan terakhir ini ternyata mampu menyundul ke permukaan di dunia media sosial, dengan menjadi puncak trending topic.

Keterangan Foto: Tari sema oleh Komunitas Darwis Nusantara dalam Suluk Maleman "Abad Kemunafikan" di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (15/10) kemarin. (Red: Abdullah Alawi)