Nasional

Suluk Maleman: Dialektika Cermin, Pemimpin Wajah Masyarakat

Ahad, 21 Januari 2024 | 10:00 WIB

Suluk Maleman: Dialektika Cermin, Pemimpin Wajah Masyarakat

Anis Sholeh Ba'asyin bersama Abdul Jalil pada Suluk Maleman di Pati, Jawa Tengah, Sabtu (20/1/2024).

Pati, NU Online

Suluk Maleman berlangsung istiqomah hingga memasuki usia ke 12 tahun tepat pada Sabtu (20/1/2024) kemarin. Ngaji budaya yang digagas Anis Sholeh Ba’asyin itu pun kembali mengajak untuk instropeksi diri dan mendekatkan diri pada Allah.


Dalam edisi ke 145 kemarin, Suluk Maleman mengangkat tema“Aku Cerminmu, Kau Cerminku”. Tema yang penuh makna itu seolah mengajarkan untuk kembali belajar bahwa pada dasarnya bangunan masyarakat adalah tersusun dari proses saling cermin anggotanya.


“Sebenarnya kita itu saling bercermin. Apa yang terbentuk dari diri kita seringkali merupakan reaksi dari luar diri. Prinsipnya sederhana, jika air kolam tercemar maka seluruh ikan yang ada di dalamnya akan tercemar pula. Sementara sebaliknya, apa yang kita perbuat pada gilirannya juga akan tercermin di luar diri kita. Maka penting membentuk lingkungan yang baik,” buka Anis Sholeh Ba’asyin.


Sebagai contoh, pemimpin yang zalim bisa jadi merupakan cerminan masyarakat yang zalim pula. Maka jika menginginkan pemimpin yang adil maka masyarakat harus bersikap adil pada banyak sisi.“Kita sering kritik korupsi tapi sering nyogok, menipu, potong kompas, dan melakukan korupsi kecil-kecilan dalam banyak bidang,” ujarnya.


Ironisnya kepentingan besar bernegara seringkali tergerus dengan kepentingan kecil. Orang berpikir kepentingan kelompoknya saja bukan lagi kepentingan bangsa. Hal itu menghasilkan egosentrisme kelompok atau golongan yang merusak.


"Padahal saat ini kita memasuki turbulensi. Ada banyak hal berubah begitu saja dengan cepat. Geopolitik sedang tidak baik baik saja, ekonomi Amerika dan China sedang drop. Kita juga mulai memasuki era baru yang banyak orang tak siap seperti keberadaan dunia digital, artificial intelligence (AI) dan sebagainya,” tambahnya.


Oleh karena itu, Anis Sholeh Ba’asyin mengingatkan agar masyarakat dapat menjaga akhlaknya dengan baik. Tanpa akhlak, capaian material sehebat apa pun akan cepat binasa, dan ilmuwan sepandai apapun hanya akan melahirkan kejahatan luar biasa.“Contohnya nuklir. Awalnya dirancang untuk tujuan baik; tapi kini malah menjadi alat pembunuh massal,” lanjut Anggota Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Anis juga menyebut jika konsep fardhu kifayah sebenarnya cukup luas dan menjadi ibadah sosial. Sehingga menghindarkan dari egosentrisme kelompok yang ada. “Jika dalam suatu masyarakat membutuhkan air maka penyediaan air bersih menjadi bentuk fardhu kifayah. Begitu pula dalam menjaga keamanan dan menegakkan hukum. Maka aparat keamanan dan penegak hukum tak sebatas pekerjaan tapi tengah menjalankan fardhu kifayah,” ingatnya.


Sementara itu, Abdul Jalil menyebut setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci sehingga situasi lingkungan tidak bisa mengotori kesucian bayi.“Kalau baru lahir cerminnya bersih. Seluruh nur Allah terpantul dari cermin,” jelasnya.


Setelah dewasa, orang berbuat salah dan disebut dosa. Dosa itulah yang menjadi kotoran. Cermin yang semula bersih terkena kotoran kecil, tetapi cukup banyak dan tak pernah dihapuskan akhirnya menjadi gelap. Saat gelap, maka nur Allah tidak bisa masuk ke hati.


“Taubat sebenarnya mampu menjadi penghapusnya. Dengan begitu dapat menghilangkan kotoran yang menutupi cermin tersebut,” tambahnya.


Dalam teori good looking glass, Abdul Jalil menyebutkan persepsi diri akan bercermin secara sosial. Komunitas pencopet akan mudah menghasilkan pencopet begitu pula komunitas orang alim akan melahirkan orang alim pula.


“Ini yang menjadi teori pondok pesantren juga.tak perlu banyak ngomong akan mengikuti temannya. Kalau berteman dengan orang baik akan menjadi baik juga,” tambahnya.


Namun dia menyebut ada teori yang mengkritik teori tersebut. Yakni teori cermin retak. Dimana konstruksi masyarakat sudah rusak sehingga saat bercermin menjadi tidak utuh lagi.


“Jalaludin Rumi menyebutkan jika kebenaran serupa cermin utuh yang jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang mendapatkan secuil dari cermin tersebut. Cuilan itu memang kebenaran tapi tentu tidak utuh,” tambahnya.


Hal itulah yang membuat orang merasa tidak mau mengaku salah. Lantaran merasa memiliki kebenarannya masing-masing. Mereka lupa lantaran itu hanya secuil sehingga tak bisa memantulkan objek secara keseluruhan.


“Apalagi untuk memantulkan nur Muhammad,” ingatnya.


Suasana ngaji budaya itu pun kian hangat saat diiringi musik dari Sampak GusUran. Ratusan orang menikmatinya, baik datang ke Rumah Adab Indonesia Mulia maupun secara daring lewat berbagai platform Suluk Maleman. Edisi ke 12 tahun ini juga diramaikan Hadrah Syubbanul Muttaqin.