Nasional

Survei INFID dan Gusdurian: Penggunaan Simbol Agama bukan Ukuran Ketaatan Beragama

Sel, 23 Maret 2021 | 10:09 WIB

Survei INFID dan Gusdurian: Penggunaan Simbol Agama bukan Ukuran Ketaatan Beragama

Ilustrasi simbol agama. (NU Online)

Jakarta, NU Online

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Jaringan Gusdurian meluncurkan hasil survei berjudul Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan, pada Selasa (23/3).


Salah satu hasil temuannya mengenai keyakinan beragama bagi 1.200 responden kalangan anak muda usia 18-30 tahun, di 30 kecamatan pada enam kota di Indonesia (Bandung, Makassar, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Pontianak).


Sebanyak 79,2 persen dari jumlah keseluruhan responden menganggap diri sebagai taat beragama. Lalu terdapat berbagai ukuran dalam ketaatan beragama bagi para responden. Salah satu ukuran ketaatan beragama bisa dilihat dari penggunaan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari.


Namun, hanya 20,9 persen saja yang mengamini penggunaan simbol sebagai ukuran ketaatan. Sementara 66,8 persen responden lainnya menganggap bahwa simbol agama bukan menjadi ukuran ketaatan beragama.


Ukuran taat beragama lainnya adalah dengan pergi ke rumah ibadah sesuai waktu yang tepat sebanyak 84 persen. Lalu mengikuti upacara keagamaan (82,9 persen). Disusul dengan sikap kesediaan menolong fakir miskin (80,4). Namun, sebanyak 60,3 persen responden menyatakan bahwa ketaatan beragama tidak diukur dari keterlibatan aktif mereka pada organisasi keagamaan. 


Kemudian, menolong sesama manusia yang sedang dilanda musibah menunjukkan angka 79,7 persen. Sebanyak 48,9 persen, responden menyatakan bahwa ukuran ketaatan beragama adalah ikut memerangi kemaksiatan. 


Khusus Responden Muslim


Koordinator Penelitian Ahmad Zainul Hamdi menyatakan, responden muslim diberi kekhususan untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar isu keislaman. Sebagian besar (82 persen) menyatakan bahwa ketaatan dalam Islam dinilai dari menjalankan shalat lima waktu secara tepat waktu.


Kemudian, diukur pula dengan selalu menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan puasa sunnah (82,1 persen). Disusul dengan ukuran membayar zakat kepada fakir miskin (82,3 persen).


Namun, lagi-lagi terdapat temuan bahwa sebagian besar (56,3 persen) menyatakan bahwa ikut dalam organisasi Islam bukan merupakan bagian dari ketaatan. Sedangkan responden yang setuju bahwa ukuran ketaatan beragama dengan mengikuti atau terlibat dalam organisasi Islam sebanyak (29,3 persen). 


Survei tersebut merupakan lanjutan untuk mengukur dari survei yang sama dan telah dilakukan oleh INFID pada 2016. Survei pada 2020 itu mengambil segmentasi dan kota yang sama. INFID melakukan survei untuk mengukur jarak atau perkembangan dari kalangan anak muda selama empat tahun terakhir.


“Penelitian ini hanya ada modifikasi minor dari instrumen yang kita gunakan. Kemudian, jika responden pada 2016 itu dimulai antara usia 16-30 tahun maka di tahun ini kita agak ke atas, kita mulai dari usia 18-30 tahun,” ungkap Inung, sapaan akrab dari Ahmad Zainul Hamdi.


Hal itu berdasar pada pertimbangan yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak. Di sana disebutkan, usia cakap hukum dimulai dari usia 18 tahun. Karena itu, pada survei 2020, Infid menggunakan usia 18 tahun untuk dijadikan sebagai responden. Jumlah responden pun berimbang 50-50 antara laki-laki dan perempuan.


Terdapat tiga konsep dalam survei ini. Pertama adalah pemuda. Kedua, penggunaan istilah radikalisme agama. Ketiga, intoleransi yang mengacu pada tiga hal yaitu sikap tidak suka, sikap bermusuhan, dan sikap sengaja melakukan gangguan terhadap kelompok yang berbeda. 


Selain soal keyakinan beragama, INFID juga mendapatkan beberapa temuan yang lain. Antara lain adalah tokoh yang nasihat keagamaannya diikuti, sikap radikalisme dan kekerasan berbasis agama, serta tokoh agama di media yang banyak diidolakan anak muda. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad