Nasional

Takzir di Pesantren Harus Bersifat Edukatif Bukan dengan Kekerasan

Kam, 8 September 2022 | 18:00 WIB

Takzir di Pesantren Harus Bersifat Edukatif Bukan dengan Kekerasan

Ilustrasi sekumpulan santri sedang berdiskusi dan bertukar pandangan. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Baru-baru ini mencuat kabar tentang kasus dugaan penganiayaan yang menimpa santri Pesantren Gontor, Ponorogo hingga meninggal dunia. Hal ini memantik perhatian dari pengelola pondok pesantren termasuk Pengasuh Pondok Pesantren Al Aziz Lasem, Nyai Hj Fatimah Asri Muthmainah.


“Santri perlu memahami bahwa pesantren menjadi contoh masyarakat. Harus lebih mengedepankan rahmatan lil ‘alamin, sehingga dapat berperilaku atas dasar kasih sayang,” ungkap Nyai Fatimah Asri kepada NU Online, Rabu (7/9/2022).


Menurut Umi Aci, sapaan akrabnya, seharusnya kebijakan-kebijakan yang ada di dalam pesantren mengedepankan sifat ramah dan mendidik. Misalnya dengan mengubah takzir yang mengarah pada kekerasan menjadi takzir yang lebih edukatif.


“Seorang santri yang melanggar aturan maka bisa takzirnya itu menambah hafalan atau membersihkan lingkungan, dan lain sebagainya yang sifatnya mendidik santri,” papar Komisioner Komisi Nasional Disabilitas.


Selain itu, Umi Aci menambahkan, pengelola pesantren juga harus memperlihatkan upaya-upaya menghapuskan perilaku perundungan. Salah satunya dengan memberikan instruksi kepada para santri senior agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada perundungan atau bully.


“Sehingga sudah semestinya pesantren memberikan contoh. Karena banyak orang tua menitipkan anaknya di pesantren supaya aman, bukannya menjadi tempat yang mengerikan. Oleh karena itu perlu menyiarkan kasih sayang,” jelas Umi Aci.


Ia mengingatkan kepada para santri untuk kembali mengingat pesan-pesan ulama terdahulu yang selalu berkata bahwa akhlak mendahului ilmu. Ini artinya bahwa pembentukan karakter dan budi pekerti harus dikedepankan.


“Apa gunanya ilmu jika hanya membawa seseorang pada sebuah kesombongan, yang kesombongan itu nanti membangun relasi kuasa, dan relasi kuasa itu nanti memudahkan seseorang untuk berbuat seenaknya bahkan berbuat kekerasan,” tutur Umi Aci.


Ia menambahkan, karakter dapat terbentuk dengan memahami bahwa makna ajaran-ajaran yang tersirat dalam kitab suci tidak hanya sekadar dibaca tapi juga dihayati dan diamalkan.


Kontributor: Afina Izzati

Editor: Fathoni Ahmad