Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Tasawuf Menjadi Semangat Dasar Tak Terpisahkan dari Praktik Islam

Rab, 22 Desember 2021 | 16:00 WIB

Jakarta, NU Online
Tasawuf menjadi semangat dasar yang tidak bisa dipisahkan dari praktik keagamaan Islam. Meskipun ada beberapa kelompok atau golongan dalam Islam yang tidak setuju dengan tasawuf, mayoritas umat Islam tidak bisa menghindarkan diri dari tasawuf, baik tasawuf yang resmi dalam bentuk tarekat, maupun tasawuf yang di luar tarekat.

 

Pengampu Ngaji Ihya Ulil Abshar Abdalla pada tayangan Road to Muktamar Ke-34 NU Seri 7: Merevitalisasikan Tasawuf dalam Mengembalikan Marwah Nahdlatul Ulama diakses Selasa (21/12/2021).


"Tasawuf ini merupakan bagian yang menyatu dalam kehidupan umat Islam di seluruh dunia," ujar Pengampu Ngaji Ihya Ulil Abshar Abdalla pada tayangan Road to Muktamar Ke-34 NU Seri 7: Merevitalisasikan Tasawuf Dalam Mengembalikan Marwah Nahdlatul Ulama diakses Selasa (21/12/2021) sore.


Gus Ulil mengatakan bahwa ulama-ulama yang selama ini dianggap tidak bersahabat dengan tasawuf seperti misalnya Ibnu Taimiyah itu sebetulnya juga bertasawuf, konon Ibnu Taimiyah mengikuti tarekat Qodiriyah.

 

"Jadi tidak bisa dipisahkan dalam tasawuf dengan kehidupan umat Islam. Nah kehidupan Muslim di Nusantara merupakan bagian dari tren global semacam ini. Nah, tasawuf ini itu memang perkembangannya tentu tidak statis, tasawuf ini mengalami evolusi yang panjang sekali," ujarnya.

 

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tasawuf semula merupakan kegiatan sederhana yaitu praktik zuhud pada generasi awal Islam, misalnya seorang ulama besar Abdullah bin Mubarak, Sahal Al-Tustari.


"Pada abad pertama Hijriah, dan kedua Hijriah, atau ketiga Hijriah itu kan kegiatan tasawuf itu pada mulanya kan zuhud. Yaitu, zuhud ini dalam pengertian semacam, kalau memakai istilah sosiologi sekarang semacam gerakan counter culture yaitu budaya perlawanan sebetulnya," katanya.

 

Karena pada abad kedua dan ketiga Hijriah itu memang umat Islam itu mulai menikmati privileged atau keuntungan-keuntungan duniawi, karena menang secara politik dengan ditaklukkannya wilayah-wilayah di sekitar Jazirah Arab.

 

"Jadi umat Islam mengalami semacam kemewahan material gitu, terjadi pada abad kedua, ketiga hijriah, pada era Dinasti Abbasiyah, terutama itu. Gerakan tasawuf itu sebetulnya gerakan melawan tendensi budaya yang muncul pada saat itu, di mana masyarakat Islam mulai hidup bermewah-mewahan. Jadi ini muncul kelas sosial yang merasa tidak nyaman dengan gaya hidup baru umat Islam yang mulai menang secara politik," ujarnya.


Menurutnya sebagian sarjana ada yang menyebut Tasawuf ini sebetulnya adalah gerakan Revolusi Ruhani. Jadi ruhnya umat Islam ini memberontak karena melihat kemewahan dunia yang dipertunjukkan oleh kelas bangsawan, dan kelas atas pada masa itu.

 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan