Nasional

Tiga Prinsip Keluarga Maslahat menurut Alissa Wahid 

Sen, 20 September 2021 | 00:00 WIB

Tiga Prinsip Keluarga Maslahat menurut Alissa Wahid 

Sekretaris Umum Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Alissa Qotrunnada Munawaroh (Alissa Wahid). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Sekretaris Umum Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Alissa Qotrunnada Munawaroh, menyebutkan tiga prinsip kehidupan berkeluarga maslahat ala Nahdlatul Ulama.

 

"Di Lembaga kemaslahatan keluarga NU itu fondasinya ada tiga (yaitu), prinsip keadilan, kesalingan, keseimbangan," ujarnya pada tayangan di kanal Department of Politics and Government beberapa waktu lalu.

 

Pada prinsip pertama yakni keadilan, Alissa menjelaskan bahwa keadilan ini berarti bagaimana relasi antar anak, relasi orangtua dengan anak, relasi suami-istri dibangun dengan baik. Kedua, kesalingan yang berarti saling memberi, menguatkan, dan mengisi. Ketiga, keseimbangan antara peran domestik dan peran publik, antara hak dan kewajiban. Ia menekankan bahwa memperkuat fondasi tersebut sama halnya dengan menciptakan hubungan keluarga yang lebih optimal. 

 

Prinsip dasar tersebut diyakini dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang masih menjadi ‘PR’ besar bagi kehidupan berkeluarga terkait relasi suami-istri. Tidak terciptanya komunikasi asertif antara pasangan suami istri kerap membuat kesalahpahaman. Perempuan merasa lingkupnya terbatas di ruang domestik, dan suami menganggap dirinya akan kehilangan derajat maskulinitas apabila melakukan peranan domestik. 

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Islam ini justru membawa transformasi besar terkait peran perempuan. Islam membawa perubahan kepada perempuan seperti mendapatkan hak waris, perempuan harus diajak bermusyawarah, dan perempuan juga diberikan keringanan karena dihargai dan diakui fungsi reproduksinya yang berbeda. Perempuan kemudian mendapat banyak sekali keringanan dalam beribadah. 

 

Hal tersebut terjadi pada masa kenabian. Risalah yang membawa transformasi sosial yang mengarah kepada keadilan sosial dari yang sebelumnya perempuan hanya dijadikan komoditas, barang milik laki-laki, dan diperlakukan apa saja. 

 

“Jadi pergeserannya tuh sangat dahsyat pada masa Rasul. Melebihi di belahan dunia yang lain, pada saat yang sama perempuan juga tetap komoditas. Dia bisa diwariskan,” terang psikolog keluarga tersebut.

 

Ia menambahkan, bahwa ayat yang memerintahkan laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik dan ayat yang menunjukan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta manusia hanya dinilai dari ketakwaannya, bukan karena hal yang lain banyak sekali terdapat dalam Alquran. Hanya saja, kemudian ‘dicuplik’ sebagian. Sehingga yang terlihat seperti laki-laki mencari nafkah dan perempuan di rumah saja. 

 

“Tetapi, yang paling banyak itu laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Sayangnya, ‘pemimpin’ itu diartikan penguasa. Padahal kan, itu hal yang berbeda. Pemimpin kan, bukan penguasa,” ungkap putri sulung KH Abdurrahman Wahid itu. 

 

Dengan demikian, ia mengharapkan agar perempuan bisa menerima akses dan afirmasi yang sama besar dengan laki-laki. 

 

Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Kendi Setiawan