Nasional

Tingkat Baca Masyarakat Indonesia Rendah? Ini Kata Aktivis Literasi Pelajar NU

Sel, 30 Juli 2019 | 13:00 WIB

Tingkat Baca Masyarakat Indonesia Rendah? Ini Kata Aktivis Literasi Pelajar NU

Diskusi Membangun Gerakan Literasi, dari Mana Kita Mulai? di Mubtada Coffee Enthusiast, Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, Jumat lalu.

Jakarta, NU Online
Indonesia menduduki posisi sebagai negara dengan literasinya yang cukup rendah. Data perpustakaan nasional menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca kurang dari sejam dalam sehari. Dalam jangka waktu setahun, mereka juga hanya mampu menghabiskan lima sampai sembilan buku saja.

Melihat hasil penelitian demikian, tentu tak sedikit yang prihatin dan menaruh perhatian pada sektor ini. Namun, Muhammad Assegaf, seorang pegiat literasi dari Cirebon, menyangkal hasil penelitian tersebut. Menurutnya, masyarakat Indonesia sangat antuasias untuk membaca berbagai buku yang ada jika buku memang betul-betul tersedia di hadapannya.

Hal tersebut ia buktikan sendiri saat berkeliling desa membawa buku-bukunya. Anak-anak langsung mengerumuninya untuk membaca berbagai jenis buku yang ia bawa dengan sepedanya.

“Anak-anak itu berantusias mendatangi perpustakaan saya,” katanya saat diskusi dengan tema Membangun Gerakan Literasi, dari Mana Kita Mulai? di Mubtada Coffee Enthusiast, Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, Jumat lalu.

Iya meyakini bahwa hasil penelitian yang menyebut literasi Indonesia rendah bukan persoalan orangnya, melainkan fasilitas bacaannya yang belum memadai. Pasalnya, lima sekolah dasar di sekitar rumahnya tidak memiliki perpustakaan kecual satu sekolah saja.

Itu pun, katanya, dikunci sepanjang jam sekolah. Akhirnya, ia berupaya mendatangi sekolah tersebut dengan maksud agar membuka perpustakaannya. Akan tetapi, setelah dibuka, anak-anak juga enggan masuk.
 
“Kalau buku di perpustakaan mah bukunya buku gede-gede, buku paket. Kalau di Kang Assegaf mah ada kartun ada komik,” katanya menirukan ungkapan anak-anak SD yang ia temui.

Direktur Lembaga Pers dan Penerbitan Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PC IPNU) Kabupaten Cirebon itu mengungkapkan bahwa ia berkeliling dari pagi hingga malam ke berbagai tempat di saban akhir pekan.

Saban malam, ia juga membuka les bagi anak-anak yang belum bisa membaca dengan lancar. Ada anak-anak usia SD hatta yang sudah masuk di tingkatan menengah pertama. Menurutnya, ada 315 siswa SMP di Kabupaten Cirebon yang tidak bisa membaca pada tahun 2016 lalu.

Assegaf menceritakan bahwa ia hanya menghabiskan uang Rp100 ribu untuk membuat perpustakaan. Pasalnya, ia mendapatkan buku dengan harga Rp4.000 per kilogram dari rongsokan. Penggerak seperti dirinya, membutuhkan komitmen dan istiqomah.

Ia mengaku senang menjalani kegiatan berkeliling menyediakan buku bacaan bagi anak-anak di desa sekitarnya. Pasalnya, ia mendapat keuntungan karena bisa berbagi dengan sesama.

Membuat Common Enemy

Di samping itu, Sabit al-Banani, intelektual NU Cirebon, mengungkapkan bahwa gerakan literasi harus dimulai dari membuat common enemy (musuh bersama). “Dari mana kita mulai? Dari common enemy kita, rasa kebersamaan untuk memusuhi apa,” katanya.

Maksudnya, kesamaan musuh itu akan membuat semakin panas otak sehingga kita bekerja keras untuk menjawab persoalan yang ada. Ia mencontohkan Assegaf yang menjadikan kekurangan fasilitas bacaan dan kemalasan membaca menjadi musuh bersamanya.

“Jadi teman-teman sekarang ada yang di lapangan muter-muter sebagainya itu adalah common enemy yang bernama mereka yang malas membaca buku,” jelasnya.

Di sisi lain, lanjutnya, kita punya common enemy yang sangat banyak, seperti ketimpangan jender, ketimpangan sosial, dan sebagainya yang juga penting untuk dibahas dan dicarikan solusinya oleh Nahdliyin.

Berbeda dengan keduanya, M Rian Budiyanto, musisi grup band Rahasia, menyebutkan bahwa ia memulai gerakan literasi dengan menyatukan realitas dan teori dalam sebuah lagu.
 
Dari lagu tersebut, ia ingin membuka mata masyarakat di sekitarnya untuk sadar akan lingkungan terdekat dan sensitif terhadap berbagai keganjilan yang ditemui. Pria baru saja menamatkan studinya di IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu meramu teori dan realita dengan nada.

Sementara itu, Muhammad Syakir Niamillah, Direktur Lembaga Pers dan Penerbitan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) mengungkapkan bahwa alih wahana bacaan menjadi berbagai konten kreatif juga harus dilakukan, seperti lagu yang digunakan oleh Budi. Pembuatan meme, komik, dan video dengan bersumber dari referensi yang tepercaya juga penting untuk dilakukan.

Menurutnya, PP IPNU telah melakukan hal tersebut dengan membuat meme dan video dari sumber bukunya langsung, seperti kutipan dari KH Saifuddin Zuhri, KH Ahmad Mustofa Bisri, Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Mohamad Sobary, dan sebagainya. Masing-masing kutipan diambil langsung dari buku karya tokoh tersebut dengan menyebutkan judul buku, tahun terbit, dan halamannya. (Syakir NF/Fathoni)