Nasional

Urgensi Peran Strategis NU Tangani Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Keluarga

Kam, 16 Desember 2021 | 19:00 WIB

Urgensi Peran Strategis NU Tangani Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Keluarga

Dosen FISIP UIN Walisongo, Semarang, Nur Hasyim. (Foto: Tangkapan layar)

Jakarta, NU Online
Peran strategis NU sangat dibutuhkan dalam mencegah kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan, baik yang sudah maupun belum berkeluarga. Hal ini disampaikan Dosen FISIP UIN Walisongo, Semarang, Nur Hasyim alam acara Webinar Road To Muktamar Ke-34 NU bertajuk NU, Perempuan, dan Ketahanan Keluarga, Rabu (15/12/2021).


“Peran strategis NU dalam memberikan edukasi kepada setiap warganya tentang perlindungan perempuan dan ketahanan keluarga saat ini dinilai sangat urgen,” katanya.


Ia mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding pada 2020. Data ini disampaikan berdasarkan data survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS).


“Merujuk pada hasil survei tersebut prevalensi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia menunjukkan 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual,” ungkapnya.


Menurutnya, data tersebut juga menunjukkan 1 dari 5 perempuan yang sedang atau pernah menikah telah mengalami kekerasan psikis. Kekerasan tidak selamanya berupa fisik, faktanya 1 dari 4 perempuan yang pernah dan sedang menikah telah mengalami kekerasan ekonomi.


“Kekerasan ekonomi terjadi karena ketimpangan jumlah pekerja perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Hal itu tidak jarang memunculkan konflik yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam keluarga,” terang dia.


Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2016 melaporkan, sebanyak 33,4 persen perempuan mengalami kekerasan selama hidupnya dan 9,4 persen mengalami kekerasan pada 12 bulan terakhir di masa survei.


Perempuan yang mendapatkan kekerasan fisik sebanyak 9,1 persen, sedang yang mendapatkan kekerasan fisik dan seksual ada 9 persen. Sementara perempuan yang mengalami kekerasan seksual saja mencapai angka 15,3 persen.


Dilihat dari jumlah tersebut, Hasyim menilai darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstremnya kasus. Tetapi, justru karena daya penanganan yang belum memadai di seluruh wilayah.


“Karena itu, edukasi perlu dilakukan dalam siklus kehidupan laki-laki maupun perempuannya sendiri. Maka penanaman nilai kesetaraan gender itu perlu diberikan sedini mungkin khususnya melalui lembaga-lembaga di bawah naungan NU,” ujar Co-Founder Aliansi Laki-laki Baru itu.


Merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ada beberapa bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga yang tidak hanya mengacu pada kekerasan fisik, antara lain sebagai berikut:  


Pertama, kekerasan emosional merupakan tindakan yang menyebabkan korban ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.


“Selain tindakan berupa cacian dan makian, tanda perilaku kasar pada perempuan dalam rumah tangga yang menyerang psikis ini juga berupa pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial,” begitu bunyi UU tersebut.


Kedua, kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Tindakan yang termasuk pada kekerasan fisik meliputi menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya.


Keempat, kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga umumnya adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan seksual. Perlu diketahui, pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki oleh istri juga termasuk dalam kekerasan seksual.


Kelima, kekerasan ekonomi juga biasa disebut dengan kekerasan penelantaran rumah tangga. Jenis kekerasan ini berhubungan dengan memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan.


Tindakan kekerasan ini dapat berupa tidak memberikan nafkah, membatasi finansial korban dengan tidak wajar, atau bahkan menguasai penghasilan pasangan sepenuhnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin