Nasional MUNAS-KONBES NU 2021

Utang Negara Naik 2.000 Triliun, Munas-Konbes NU Dorong KPK Kawal Anggaran PEN

Kam, 23 September 2021 | 10:30 WIB

Utang Negara Naik 2.000 Triliun, Munas-Konbes NU Dorong KPK Kawal Anggaran PEN

Ilustrasi. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021 yang akan digelar dua hari lagi menyoroti soal kenaikan utang negara selama setahun sebesar Rp2.000 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN).


Atas dasar itu, Munas-Konbes NU 2021 akan membahas persoalan tersebut dan mengeluarkan rekomendasi agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar mampu mengawal secara intensif penggunaan anggaran PEN, termasuk yang digunakan untuk bantuan sosial.


Jika mampu mengawal intensif anggaran PEN dengan mengoptimalkan fungsi preventif dan penindakan, maka tentu saja akan berdampak positif bagi KPK untuk meningkatkan kepercayaan publik, pasca terbitnya Undang-Undang (UU) KPK yang dilakukan pada 2019.


Hal tersebut masuk ke dalam bidang politik, hukum, dan keamanan (polhukam) yang akan menjadi pembahasan di Komisi Rekomendasi Munas-Konbes NU, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada 25-26 September 2021.


“Kita dorong KPK agar lebih mengawasi anggaran PEN yang sangat besar. Karena kita bisa lihat jumlah utang pemerintah dalam satu tahun ini sangat signifikan. Berdasarkan audit BPK (Badan Pengawas Keuangan) selama setahun ada peningkatan jumlah utang pemerintah ada Rp2.000 triliun,” kata Sekretaris Komisi Rekomendasi Munas-Konbes 2021 M Kholid Syeirazi kepada NU Online, Kamis (23/9/2021).


Utang pemerintah tercatat naik dari Rp4.778 triliun pada 2019 menjadi Rp6.074 triliun pada 2020. Menurut Kholid, anggaran sebesar itu harus betul-betul diawasi penggunaannya oleh KPK agar tidak menjadi 'bancakan' di kalangan para pejabat.


“Kalau jadi 'bancakan' itu pasti tidak tepat sasaran dan tepat guna,” ungkap Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) itu.


Selain soal pengawasan intensif KPK terhadap penggunaan anggaran PEN itu, bidang polhukam di Komisi Rekomendasi Munas-Konbes NU 2021 ini juga menyoroti soal pandemi Covid-19 yang kerapkali dijadikan sebagai panggung pencitraan bagi para pejabat. Salah satunya ketika para pejabat itu menggelar program vaksinasi.


“Jadi itu kita soroti juga. Vaksinasi itu tidak usah gerudukan. Turun ke bawah untuk cari panggung. Vaksinasi ya suntik-suntik saja. Nggak usah pakai ritual yang justru mengerahkan dan memobilisasi massa. Ajudannya saja berapa, pengawalnya berapa, itu justru malah menimbulkan kerumunan,” kata Kholid.


Komisi Rekomendasi Munas-Konbes NU 2021 nanti akan mendorong agar pemerintah pusat juga daerah harus fokus pada penanganan pandemi Covid-19 sebagai isu kesehatan dan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan politik partisan.


Tak hanya itu, kebijakan pemerintah yang mengetatkan pergerakan masyarakat di dalam negeri tetapi justru melonggarkan tenaga kerja asing dari luar negeri. Hal ini menurut Kholid, akan menimbulkan kesan buruk kepada pemerintah.


“Saya kira pemerintah perlu berhati-hati, jangan sampai ambivalen (dalam membuat kebijakan). Di satu sisi tenaga kerja asing itu dikasih keleluasaan untuk masuk, sementara warganya sendiri itu dibatasi,” katanya.


Ia menegaskan, pemerintah harus punya sense of crisis (kepekaan terhadap krisis) dengan berempati kepada orang-orang yang saat ini tengah berjuang tetapi justru dibatasi pergerakannya dan dilarang keluar rumah.


“Jangan sampai kita sudah ketat di dalam, sementara arus dari luar dibuat longgar. Nah itu nanti menimbulkan isu-isu yang tidak sedap bagi pemerintah. Jadi rekomendasi kami ini (bersifat) harapan dan imbauan agar pemerintah mendengar masukan dari akar rumput organisasi masyarakat sipil seperti NU dengan warga yang sangat besar,” katanya.


Suara tersebut, menurut Kholid, harus didengarkan oleh pemerintah agar kemudian menuangkannya ke dalam proses legal pembuatan kebijakan negara. “Karena yang pegang kekuasaan kan pemerintah,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin