Nasional

Vonis Seumur Hidup Hery Wirawan, KPAI: Tak Sebanding dengan Luka Korban

Rab, 16 Februari 2022 | 21:00 WIB

Vonis Seumur Hidup Hery Wirawan, KPAI: Tak Sebanding dengan Luka Korban

Terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak, Herry Wirawan (tengah) (Foto: Rafi Fadh/AP Photo)

Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indnesia (KPAI) Retno Listyarti menilai vonis hukuman seumur hidup Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung, kepada terdakwa pemerkosa belasan murid Boarding School, Bandung, Herry Wirawan, pada Selasa (15/2/2022), tidak sebanding dengan luka yang dialami korban.


“Hukuman itu gak sebanding dengan luka para korbannya,” ujarnya kepada NU Online, Rabu (16/2/2022).


Sebab, kata dia, dalam kasus ini ada dua korban anak-anak yang terkena dampaknya. Pertama, korban santriwati yang mengalami perkosaan, dan kedua korban bayi yang dilahirkannya.


“Karena korban anak-anak ini ada dua, korban langsung yang melakukan hubungan badan sampai hamil dan melahirkan, lalu korban langsung anak-anak yang dilahirkan," kata aktivis pendidikan lulusan Universitas Indonesia itu.


Ia meminta pengadilan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kepada para korban. Terlebih, hingga kini korban masih kesulitan untuk melanjutkan hidup. Alasannya beragam, salah satunya lantaran ada beberapa korban yang sudah mulai kembali bersekolah tetapi justru dikeluarkan lantaran ketahuan memiliki bayi.


"Mereka sekarang melanjutkan hidup agak sulit, ada beberapa anak yang sudah sekolah tapi setelah sekolah tahu anak ini sudah melahirkan, lalu si anak dikeluarkan. Padahal kan itu bukan kemauan mereka. Jadi, harusnya tetap punya hak untuk melanjutkan pendidikan,” tegas Retno.


Keputusan sekolah yang mengeluarkan korban secara sepihak, menurut Retno menandakan bahwa selama ini baik dinas pendidikan, kementerian agama, maupun pendidik tidak memahami kekerasan seksual lewat perspektif korban. Sehingga dengan ketidakpahamannya itu pihak sekolah sewenang-wenang atas hak-hak anak didiknya.


"Sekolah dengan ketidakpahamannya, kemudian mengeluarkan, seolah-olah anak ini sudah tidak dianggap anak lagi karena sudah punya anak. Padahal dia belum menikah dan ini atas dasar pemaksaan, jadi mereka korban,” ungkapnya.


Atas dasar itu, tokoh yang juga menjabat Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini pun berharap agar negara bisa hadir memberikan pendampingan dan perlindungan kepada para korban untuk melanjutkan kehidupan selayaknya anak-anak di usia mereka.

 

“Ini anak belum berdaya, ada anak-anak yang tidak berdosa, hidupnya masih panjang. Di sinilah negara ini harus hadir sebagai jaminan anak-anak ini akan bisa melanjutkan masa depannya," jelas Retno.

 

Beban restitusi
Sementara itu, melansir laman resmi kemenpppa.go.id, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga berharap vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim dapat menimbulkan efek jera. Selain itu, pihaknya juga berharap vonis dapat menimbulkan efek pencegahan agar kasus serupa tidak kembali berulang.


Kemudian, mengenai putusan hakim yang menjatuhkan beban restitusi atau ganti rugi terhadap 13 korban pemerkosaan terdakwa sebesar Rp331.527.186 kepada KemenPPPA, Bintang belum dapat memberikan kepastian bakal memenuhinya.


Ia justru menegaskan, putusan Hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum, dan KemenPPA tak bisa jadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.


“Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang inckracht (proses penyelesaian akhir dari suatu perkara perdata yang telah diputus pengadilan) dan saat ini KemenPPA akan membahasnya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)," tegasnya.


Pernyataan itu didasarkan pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam kasus ini, Bintang mengklaim Kementerian PPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi karena restitusi tidak dibebankan kepada negara.


“Yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarga oleh pelaku atau pihak ketiga,” jelas dia.


Mengenai alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung memutuskan biaya restitusi atau ganti terhadap para korban pemerkosaan Herry Wirawan dibebankan kepada Kementerian PPPA, karena Herry Wirawan telah divonis hukuman penjara seumur hidup.


Berdasarkan Pasal 67 KUHP, terpidana mati atau terpidana seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pidana lain. Majelis hakim menjelaskan undang-undang belum mengatur kepada siapa restitusi bakal dibebankan, apabila pelaku berhalangan untuk membayar.


Sehingga, hakim menyatakan restitusi sebesar Rp331.527.186 itu merupakan tugas negara. Dalam hal ini, hakim menyebut KPPPA memiliki tugas untuk melindungi para anak korban pemerkosaan.


"Rp331 juta dibebankan kepada KemenPPPA, apabila tidak tersedia anggaran tersebut, maka akan dianggarkan dalam tahun berikutnya," tutur hakim Yohanes saat membacakan vonis terhadap Herry Wirawan, di PN Bandung, Selasa (15/2/2022) kemarin.


Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin