Nasional

Wakil Ketua RMI PBNU Sebut 3 Isu Besar Lingkungan yang Perlu Diperhatikan Serius

Jum, 28 Oktober 2022 | 08:00 WIB

Wakil Ketua RMI PBNU Sebut 3 Isu Besar Lingkungan yang Perlu Diperhatikan Serius

Halaqah Ekopesantren yang dihelat oleh Pengurus Cabang (PC) RMINU Sumenep, Kamis (27/10/2022) di Pondok Pesantren Al-In'am Gapura, Sumenep. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online
Wakil Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hodri Arief menyebut tiga isu besar dalam ekologi, yaitu sampah, penebangan pohon, dan penambangan.


Pernyataan ini disampaikan saat menjadi narasumber pada acara Halaqah Ekopesantren yang dihelat oleh Pengurus Cabang (PC) RMINU Sumenep, Kamis (27/10/2022) di Pondok Pesantren Al-In'am Gapura, Sumenep, Jawa Timur.


Menurutnya, hampir dari seluruh pesantren memiliki problem pengelolaan sampah. Rusaknya lingkungan karena lemahnya kepedulian seseorang dalam membuang sampah. Terutama sampah plastik, perlu dicarikan solusi untuk menanganinya.


"Dalam sudut pandang yang sempit, sampah plastik menjadi masalah. Namum dalam sudut pandang yang luas, bisa mencukupi kebutuhan finansial pesantren dengan menjual hasil daur ulang sampah," ujarnya. 


Diceritakan, saat berkunjung ke pesantren yang dikenal bersih, yakni Daaruttaqwa Bogor, toiletnya besih dan tak berbau pesing. Keunikan lainnya, tak ada satu pun daun pohon terjatuh. Sebagaimana dalam patologi, jika mau menilai rumah bersih, lihat toiletnya. 


"Saat ditanya perihal itu, kiainya menjawab, setiap melihat sampah, ia ditaruh dalam saku baju. Tujuannya, agar orang yang melihat merasa risih untuk membuang. Menurut kami, ini kritik bagi orang-orang pesantren yang membuang sampah seenaknya. Cara seperti itu memberi keteladanan pada santri, wali santti dan tamu pesantren," sergahnya.


Kiai Hodri menyayangkan saat ada kabel yang menyangkut ke pohon, pohonnya yang ditebang. Jika menggunakan logika, butuh ratusan tahun menumbuhkan pohon, sedangkan memindahkan kabel membutuhkan satu hari. Cara berpikir seperti ini tidak berpihak pada lingkungan.


Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk itu menyangkan pula pengerukan tambang, sehingga membuat alam tidak berfungsi sesuai peruntukannya. Penambangan bisa mengakibatkan pencemaran air, udara, dan sebagainya.


"Jadi, yang menerima dampaknya adalah masyarakat. Sedangkan yang meraup keuntungan adalah investor. Halaqah ini kami duga tidak cukup. Problem tersebut ada peran pemerintah eksekutif, legislatif, dan penegakan hukum bertindak terhadap para perusakan lingkungan," harapnya.


Lebih lanjut, jika tiga aspek tidak berjalan, maka akan menjadi mimpi indah tapi tak pernah terwujud. Maksudnya, cara berpikir seseorang harus ramah pada lingkunga. Buktinya, burung di Indonesia saat bertemu manusia, kabur semua.


"Burung melihat kita seperti ancaman. Betapa buas kita ini. Namun di negara lain, burung mudah hinggap untuk menumpang makan remah roti di meja. Masyarakat di sana membiarkannya seakan-akan mereka berdua nyaman atau hidup bersama," kenangnya.


Berbeda di Indonesia, lanjutnya, burung ditangkap, kemudian digoreng seakan-akan tidak menemukan makanan lain. Andaikan burung bisa berbicara, betapa buas masyarakat mengancam burung, tupai dan binatang lainnya. 


"Ini menunjukkan betapa tidak rumahnya pada lingkungan. Menarik jika kita buat kampanye stop berburu binatang. Ini langkah membiasakan menyayangi lingkungan," imbuhnya.


Tak hanya itu, ia menceritakan perjalanannya ke Jerman bersama Gus Mus. Alkisah, jalanan macet panjang. Sesampai di pusat kemacetan, tampak petugas pemadam kebakaran menurunkan kucing nyangkut di tiang listrik.


"Saat ditanya, petugas Damkar menjawab, kalau tidak bisa menciptakan dan menghidupkan kucing, paling tidak kita bisa tidak bisa menjadi penyebab kematiannya. Allah, begitu kuat perhatiannya pada binatang," papar pria asal Silo, Jember itu.


Dirinya mengajak pada Nahdliyin untuk menggunakan ayat-ayat kauniyah, sehingga masyarakat sadar bahwa merusak alam sama halnya merusak ayat-ayat Tuhan.


Belakangan ini muncul penyakit komplikasi yang disebabkan oleh lingkungan itu sendiri. Ia meyakini para sepuh tidak pernah mengeluh penyakit asam urat, kolesterol, hipertensi, dan sejenisnya.


"Zaman ini, banyak yang mengeluh tentang penyakit. Ini ada yang salah hubungan kita dengan lingkungan. Artinya, penyakit yang diderita adalah buah terhadap tidak adilnya seseorang pada lingkungan.


Tak sampai di situ, ia merefleksikan beberapa fenomena yang terjadi di masyarakat, yakni mempercepat tanaman berbuah, hingga mempercepat pertumbuhan ayam dengan cara yang instan. 


"Dalam waktu singkat, kita makan. Di sanalah latar belakang penyakit itu muncul. Kami heran pada oknum ini, mengapa mereka bernafsu meraup keuntungan banyak dengan modal sedikit tanpa memperhatikan dampaknya. Ini yang dikatakan manusia serakah," sergahnya.


Dari berbagai contoh, Kiai Hodri mengkajinya dengan pendekatan akhlak. Perilaku serakah sangat tak terpuji dan menyebabkan alam tidak seimbang. Sementara dari segi fikih, orang serakah tidak meningkatkan kualitas hidup manusia. 


Dengan demikian, aspek teologi, akhlak dan fikih harus terintegrasi dalam satu kesatuan. Ajarannya dituangkan dalam satuan pendidikan yang berimplikasi pada untuk mengamalkan ilmunya. Sedangkang guru menjadi bagian dari integral santri. 


Kiai Hodri bercerita lagi kisah perjalanannya ke Belanda bersama Gus Mus. Di waktu subuh, jalanan sepi. Namun warga di sana mematuhi lalu-lintas, yakni menyeberang jalan saat lampu dinyalakan untuk pengendaraan.


"Saat seorang perempuan menyembrang jalan, ada motor yang menerobos lalu-lintas. Sontak ibu tersebut marah pada pengendara. Yang dikatakannya adalah pengendara memberikan contoh yang buruk pada anaknya," curahnya.


"Keteladanan merupakan kunci dalam pendidikan. Mencontohkan sesuatu yang baik, akan berbuah pada kebaikan. Tanpa keteladanan, teori akan indah di atas kertas," pungkasnya.


Kontributor: Firdausi
Editor: Syamsul ArifinÂ