Nasional

Wakil Rais Aam PBNU Sebut Hewan Kurban Tidak Boleh Bahayakan Kesehatan Akal dan Fisik

Rab, 1 Juni 2022 | 17:00 WIB

Wakil Rais Aam PBNU Sebut Hewan Kurban Tidak Boleh Bahayakan Kesehatan Akal dan Fisik

hal terpenting yang harus diperhatikan dari hewan kurban yang akan dikonsumsi tidak mengganggu terhadap kesehatan fisik dan akal.

Jakarta, NU Online

Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir memberikan pengarahan kepada para peserta bahtsul masail yang diadakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang membahas penyakit mulut dan kuku (PMK) yang terkait dengan hewan kurban secara daring, pada Selasa (31/5/2022) malam.

 

Ia menyebutkan, pembahasan mengenai PMK pada hewan itu sangat penting dibahas. Sebab hewan kurban memiliki syarat-syarat, baik syarat umum maupun syarat khusus. 


“Syarat umum adalah bahan-bahan makanan yang boleh dikonsumsi oleh umat Islam, harus suci, tidak membahayakan kesehatan fisik dan akal. Selain juga harus diperoleh melalui jalan legal atau syar’i atau yang dibenarkan secara syariat,” ungkap Kiai Afif. 


Menurut Kiai Afif, hal terpenting yang harus diperhatikan dari hewan kurban yang akan dikonsumsi tidak mengganggu terhadap kesehatan fisik dan akal. Sebab memelihara akal dan fisik merupakan dua di antara lima dari ad-dharuriyat al-khamsah atau tujuan dari syariat Islam.  


Lebih lanjut, Kiai Afif menjelaskan bahwa hewan kurban juga memiliki syarat khusus. Di antaranya hewan kurban tidak boleh cacat dan mengandung aib. Ia lantas menyebutkan sebuah hadits Nabi Muhammad yang membeberkan tentang keabsahan hewan kurban.


“Ada empat jenis hewan yang tidak cukup dijadikan hewan kurban, yaitu hewan yang buta sebelah, sakit, pincang, dan sangat kurus. Itu beberapa jenis aib yang sudah manshus dinyatakan langsung oleh Allah,” ungkap kiai yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah itu.


Pada perumusan sebuah hukum, Kiai Afif menjelaskan bahwa yang dibahas adalah persoalan analogi atau qiyas, sedangkan dasar dari qiyas adalah ta’qilul ahkam atau hukum yang dapat dipahami oleh akal. 


“Misalnya kenapa hewan-hewan sakit tidak bisa dijadikan hewan kurban? Kenapa yang pincang, buta sebelah, dan kurus itu tidak bisa? Kalau kita bisa memahami alasan-alasan itu maka kita akan bisa melakukan qiyas,” jelas Kiai Afif. 


Ia menjelaskan, para ulama telah menambah beberapa jenis aib. Misalnya ada sebagian besar dari gigi hewan kurban itu yang rontok dan tidak ada telinganya. Namun Kiai Afif mengaku belum menemukan atau melakukan pengecekan hukum itu berdasar dari nash (teks) atau analogi (qiyas). 


Padahal menurut kiai pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur ini aib hewan seperti pincang dan buta, tidak akan berpengaruh pada daging yang akan membahayakan kesehatan, terutama terkait dengan persoalan PMK. 


“Apa bedanya PMK dengan penyakit-penyakit yang sudah manshush di hadits itu? Karena kesimpulan-kesimpulan dari syarat-syarat itu, hewan kurban harus optimal. Tidak cukup hanya tidak berbahaya, tetapi harus benar-benar sempurna,” ungkapnya. 


Karena itu, Kiai Afif menegaskan bahwa pihak yang bisa menjawab persoalan mengenai hubungan antara aib hewan dengan daging yang akan dikonsumsi adalah pakar. Sementara para fuqaha atau ahli fikih yang kelak memutuskan hukum secara syariat. 


“Oleh karena itu harus bertemu antara kedua belah pihak antara fuqaha dan khubara. Fuqaha tidak akan bisa memutuskan hal ini tanpa ada penjelasan para khubara atau para pakarnya,” ungkap Kiai Afif. 


Bahtsul masail yang digelar LBM PBNU ini juga menghadirkan seorang pakar dari Ikatan Dokter Hewan Sapi Indonesia drh M Taufiq Fadhlullah. Ia menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi mengenai PMK, akibat yang ditimbulkan, serta gejala-gejala klinis yang muncul akibat virus itu. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan