Nasional

Wamenag: Paksakan Indonesia Sistem Khilafah Bisa Chaos

Sel, 3 Maret 2020 | 09:00 WIB

Wamenag: Paksakan Indonesia Sistem Khilafah Bisa Chaos

Wamenag RI, H Zainut Tauhid (berdiri) (Foto: NU Online/Rifqi Hidayat)

Semarang, NU Online
Pergerakan golongan berpaham Islam radikal yang ingin mengganti sistem demokrasi Indonesia dengan khilafah disebut Wakil Menteri Agama (Wamenag) HA Zainut Tauhid tak sesuai dengan kondisi pluraritas bangsa Indonesia dan berpotensi menimbulkan chaos.
 
"Bila memaksakan dengan sistem khilafah, maka yang terjadi adalah keos (chaos)," kata Wamenag dalam Seminar Nasional yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Senin (2/2) sore.
 
Menurutnya, negara yang bernuansa Islam tak ada yang menggunakan sistem khilafah seperti yang diusung oleh Hizbut Tahrir. Disebutnya Arab Saudi dan Malaysia berbentuk kerajaan, Mesir dan Pakistan berbentuk republik sebagaimana Indonesia dengan demokrasi Pancasilanya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Karena itu isu khilafah hanya akan menghasilkan Indonesia bernasib seperti Syria, atau Afganistan yang cuma terdiri dari beberapa etnis namun harus perang tak berkesudahan. Bahkan ironisnya, Kiai Zainut menyebut adanya golongan muda Indonesia yang belajar perang lantaran demikian berobsesi mendirikan khilafah.
 
"Ada anak muda Indonesia berangkat ke Afganistan untuk belajar perang lalu kembali ke Indonesia dan menganggap Indonesia darul harbi (negara perang)," ungkapnya.
 
Dikatakan, memperhatikan pembangunan yang ada harus terus mengarah pada prospek yang lebih baik, Wamenag meminta agar tidak lagi mempertentangkan konsep agama dan konsep negara. 
 
"Sudah selesai, sudah final," tegasnya.
 
Dijelaskan, negara-negara di Timur Tengah yang saat berkonflik lantaran belum memiliki konsep bernegara yang jelas. "Alhamdulillah Indonesia telah selesai membicarakan konsep beragama dan bernegara. Karena antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan," ujarnya.
 
Mengutip referensi yang ada, Wamenag menegaskan antara agama dan negara ibarat seperti bayi kembar. Agama adalah pondasinya, negara adalah penjaganya. "Itulah dasar-dasar agama yang telah diletakkan oleh para kiai kita, ulama kita. Indonesia berdiri atas dasar nilai Pancasila," tandasnya.
 
Meski demikian, Ia tak memungkiri bahwa golongan Islam yang ekstrim kanan tidak melihat konteksnya ayat. Sehinga memaknai agama hanya sebatas teks-teks secara literal yang sempit. 
 
Sementara dari golongan kiri, hanya melihat persoalan berdasarkan konteksnya saja. Sehingga meninggalkan teks-teks agama hanya berdasarkan pada kemaslahatan saja. 
 
Dia lantas menjelaskan, ada juga yang berfaham sekuler. Yaitu, golongan yang ingin memisahkan agama dengan negara. "Agama menjadi urusan pribadi, mentri agama harus dibubarkan," bebernya. 
 
Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan sejarah lahirnya bangsa Indonesia di mana pejuang golongan nasionalis ingin negara berdiri di atas nilai nasionalisme, sedangkan para pejuang dari barisan ulama menginginkan dasar negara berasal dari nilai-nilai agama.
 
"Inilah kemudian ada solusi jalan keluar yang bisa menemukan dua keinginan itu. Pancasila digali dari nilai-nilai agama, budaya, dan kearifan lokal. Nilai dalam agama adalah nilai universal yang bisa diterima oleh seluruh rakyat Indonesia," jelasnya.
 
Pancasila adalah kalimatun sawa, lanjutnya, kalimat yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia. Indonesia tidak melarang seseorang untuk beribadah sesuai ajarannya. Tidak ada yang melarang shalat, zakat dan sebagainya. 
 
"Tidak ada alasan bagi kita mengingari kesepakatan itu," pungkasnya. 
 
Kontributor: A Rifqi Hidayat
Editor: Abdul Muiz