Nasional

Yenny Wahid Jelaskan Peran Idelogis NU soal Keagamaan dan Kebangsaan

Jum, 29 Januari 2021 | 11:30 WIB

Yenny Wahid Jelaskan Peran Idelogis NU soal Keagamaan dan Kebangsaan

Yenny Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Peran Nahdlatul Ulama sejauh ini, sangat luar biasa. Terutama dari sisi ideologi. Peran tersebut bukan hanya dimainkan dalam konteks keindonesiaan, tetapi juga pada konteks global. Salah satunya adalah Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf yang aktif berperan di kancah internasional.


Demikian diungkapkan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid pada webinar bertajuk Ngobrol Publik Daring dalam rangka Peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-95 NU, yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube 164 Channel, Jumat (29/1) sore. 


“Gus Yahya itu aktif sekali memainkan peran untuk mendorong ke arah rekontekstualisasi dan reinterpretasi teks-teks suci yang banyak dipakai umat Islam di dunia, termasuk di antaranya adalah NU,” ungkap perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh itu. 


Dikatakan Yenny, Gus Yahya juga turut andil dalam mendorong perubahan cara bermazhab dari metode qauli (fatwa pemuka agama) ke manhaji (tradisi berpikir). Menurutnya, cara yang dilakukan itu harus terus disuarakan dan digelorakan. 


Selain itu, NU mencoba untuk mendorong agar tidak ada dikotomi atau pemisah antara rasa nasionalisme dan spiritualisme. Kedua hal itu berhasil diharmonikan oleh para ulama NU. Bahkan, kata Yenny, saat ini muncul tren lagu hubbul wathan minal iman yang telah diketahui publik.


“Bahwa mencintai bangsa dan Indonesia adalah bagian dari keimanan kita. Itu kan yang menggelorakan NU. Jadi di tataran ideologi, NU sudah melakukan banyak hal. Termasuk soal toleransi yang merupakan bagian dari transformasi ideologi atau pikiran dan cara bermazhab kita (NU). Toleransi menjadi bagian dari gerakan transformasi itu,” katanya.


Putri ketiga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini berharap agar ke depan, NU lebih menguatkan implementasi dari pemikiran dan semangat kebangsaan itu. NU mesti mendorong agar masyarakat mampu mempraktikkan cara berinteraksi yang tetap mengedepankan akhlak terpuji, tanpa takut kehilangan akidah.


“Kalau orang NU, apalagi kalangan pesantren, karena sudah sangat melekat dalam teks-teks keagamaan, biasanya cukup percaya diri kalau berurusan dengan non-muslim. Karena tahu bahwa begitu banyak pemikiran yang berbeda,” ujar Yenny.


Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa pluralisme memang ada dalam kehidupan di dunia. Bahkan, terdapat juga pluralisme di dalam satu kelompok agama. Ia mencontohkan, imam yang satu belum tentu sama pemikirannya dengan ulama yang lain. Namun, warga NU menganggap hal itu biasa-biasa saja. 


“Sehingga kita tidak kaget dengan adanya perbedaan. Oleh karena itu, sangat mudah dan wajar bagi masyarakat Nahdliyin untuk berinteraksi atau menjalin hubungan dengan kelompok non-muslim,” terang Yenny yang juga salah seorang Ketua PP Muslimat NU ini.


Sementara itu Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia sekaligus Imam Katolik di Indonesia, Romo Kardinal Mgr Ignatius Suharyo mengisahkan pengalamannya berinteraksi dengan warga NU di akar rumput. 


Sekira tiga tahun lalu, ia memimpin upacara keagamaan di daerah Citra Raya, Kabupaten Tangerang. Acara itu dilangsungkan pukul 08.00 WIB. Namun, Romo Suharyo diminta untuk datang satu jam sebelum acara dimulai.


Setibanya di lokasi, ia disambut oleh banyaknya anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU dari Kabupaten Tangerang. Romo Suharyo akhirnya mengetahui bahwa sebelum dilangsungkan acara keagamaan dimulai, terlebih dulu diadakan upacara bendera di halaman gereja. Sementara yang menjadi komandan upacara adalah Pimpinan Banser Kabupaten Tangerang.


“Saya sungguh merasa tersentuh karena seumur-umur, sekian lama saya menjadi pelayan umat, baru kali ini sebelum upacara keagamaan di dalam gereja, diajak untuk membaharui semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air, dan yang menyelenggarakan itu adalah kawan-kawan Banser dari Kabupaten Tangerang,” ujar Romo Suharyo.


Ia lantas menilai bahwa kebersamaan untuk merawat semangat kebangsaan, rasa kebersamaan untuk mengembangkan dan menjaga tanah air, telah diberikan caranya oleh keluarga besar NU. Hal inilah yang kemudian menguatkan hubungan harmonis antara warga NU dengan umat Katolik di Indonesia.


“Karena itu, sejauh yang saya tahu, pada tahun lalu, penerbit percetakan Kanisius, dalam rangka mensyukuri semangat kebangsaan yang ditanamkan oleh Keluarga Besar Nahdlatul Ulama, menerbitkan buku berjudul NU Penjaga NKRI (persis dengan judul webinar hari ini),” pungkasnya.


Sekadar informasi, selain Yenny dan Romo Suharyo, acara yang dimoderatori oleh Erika Widyaningsih dari Rumah Kebangsaan ini dihadiri pula oleh dua narasumber lainnya yakni Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat. Sebelum itu, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad menyampaikan sambutannya sebagai perwakilan dari panitia penyelenggara acara. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad