Opini

Abdurrahman Wahid: Melodi Demokrasi yang Menyentuh Jiwa

Sab, 25 November 2023 | 21:32 WIB

Abdurrahman Wahid: Melodi Demokrasi yang Menyentuh Jiwa

Pada 1991, Gus Dur bersama para aktivis melahirkan "Mufakat Cibeureum," dokumen yang mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya demokratisasi. (Foto: kemdikbud.go.id)

Abdurrahman Wahid, atau lebih akrab disapa Gus Dur, tak sekadar menyandang gelar sebagai Presiden Indonesia keempat. Bagi banyak orang, Gus Dur adalah simbol harapan, kebijaksanaan, dan kelembutan di tengah perjuangan melahirkan demokrasi yang nyata di Indonesia.


Pribadinya yang berbeda dari masyarakat umum, dengan senyum abadi di wajahnya, selalu berhasil menyebar benih-benih perdamaian di setiap sentuhan kata dan langkahnya. Di balik kerendahan hatinya, tersemat kebijaksanaan dan pemikiran mendalam mengenai demokrasi.


Pada peringatan haul Gus Dur yang rutin digelar di Ciganjur dan sejumlah daerah lainnya, taburan doa, shalawat, dan Yasin diselipkan sebagai bentuk penghormatan atas jasanya bagi bangsa Indonesia. Sebuah upacara sederhana, tetapi sarat makna, mengingatkan kita pada sosok yang tak hanya memimpin, tetapi juga menyentuh hati rakyatnya.

 

Demokrasi di Negeri yang Mencari Identitas

Indonesia, sejak awal merdeka, terus mencari konsep demokrasi yang pas. Dari demokrasi liberal hingga terpimpin, dan kemudian berubah lagi pada masa Orde Baru. Setiap periode menciptakan dinamika dan tantangan tersendiri. Gus Dur menjadi bagian dari perjalanan ini, membawa nuansa demokrasi yang lebih manusiawi dan inklusif.


Pada tahun 1991, di tengah tekanan rezim Orde Baru, Gus Dur bersama tokoh-tokoh intelektual dan aktivis seperti Frans Magnis Suseno dan Y.B. Mangunwijaya, berkumpul di Cibeureum. Mereka membahas sektarianisme dan tantangan demokrasi di Indonesia. Dari pertemuan itu, lahir "Mufakat Cibeureum," dokumen yang mengajak perluasan partisipasi masyarakat dalam upaya demokratisasi.

 

Forum Demokrasi: Suara bagi Rakyat Indonesia

Gus Dur melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan Forum Demokrasi, tempat untuk menampung keluh kesah masyarakat terhadap kondisi demokrasi saat itu. Beliau memahami bahwa demokratisasi bukan sekadar struktur politik, tetapi juga kesadaran masyarakat akan kebebasan berpendapat.


Gus Dur mengajarkan bahwa demokrasi sejati harus merangkul ragam jenis perbedaan. Ia membuktikan bahwa keberanian tak harus bersifat menggertak, melainkan membaur dengan kebijaksanaan. Ketika kasus sektarianisme mencuat, Gus Dur menyatakan, "Kontroversi adalah esensi demokrasi. Kenapa takut adanya kontroversi? Wong, nabi saja mengizinkan kontroversi."


Gus Dur juga memberikan contoh nyata dalam melawan nepotisme. Sikap tegasnya terhadap penunjukan keluarga atau kerabat dekatnya dalam pemerintahan menjadi contoh bahwa keadilan harus ditegakkan di semua lapisan. Ia tidak hanya menjadi pemimpin politik, tetapi juga pemimpin spiritual. Sejuk udara Cibeureum mencerminkan kesejukan hati dan pikiran beliau. Dalam dinginnya udara, terlahir kesepakatan untuk memperluas keikutsertaan masyarakat dalam demokratisasi.


Dengan segala kelembutan dan kebijaksanaannya, ia adalah melodi demokrasi yang membahana. Seperti lantunan musik yang menyentuh jiwa, begitu pula kontribusinya terhadap demokrasi di Indonesia. Hari ini, Indonesia terus meniti jalur demokrasi dengan warisan pemikiran Gus Dur sebagai panduan dan inspirasi. Al-Fatihah untuk pahlawan demokrasi yang selalu adem, Abdurrahman Wahid.

 

Abi S Nugroho, pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU