Opini

Ahlussunnah wal Jamaah Sebagai Manhajul Fikr

Ahad, 16 Oktober 2016 | 08:00 WIB

Oleh Deni Gunawan

Ahlusunnah wal Jamaah atau yang sering disingkat Aswaja secara sederhana dapat diartikan sebagai kelompok yang mengikuti sunnah Nabi dan ajaran para sahabat Nabi yang merupakan santri nabi itu sendiri. Aswaja oleh sebagian orang sering dianggap sebagai madzhab, sebagian lainnya lagi menyebutnya sebagai manhajul fikr (metode berfikir). Untuk sementara saya memakai pengertian yang kedua (dengan berbagai peradabannya).

Aswaja sebagai manhajul fikr adalah respon para sahabat atas situasi umat yang kacau pada saat itu. tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan firqah-firqah (kelompok mazhab Islam) banyak dilatar  belakangi oleh situasi politik umat Islam saat itu.

Setelah wafatnya Nabi, para pemimpin Muslim harus menentukan bentuk umat seperti apa yang harus mereka pilih. Sebagian mungkin tidak percaya jika harus ada “negara” dengan demikian tidak perlu satu pimpinan untuk memimpin keseluruhan suku dan kelompok pada saat itu. Sementara sebagian yang lain seperti Abu Bakar dan Umar berpendapat bahwa umat harus memiliki satu pemimpin sebagaimana pada saat Nabi. Sementara sebagian yang lainnya lagi percaya bahwa Ali bin Abi Thalib yang paling berhak atas tampuk kepemimpinan setelah Nabi. Di Arab yang menganggap bahwa ikatan darah sangat sakral, kualitas pemimpin dipercaya akan diwariskan kepada keturunannya dan sebagian warga Muslim percaya bahwa Ali telah mewarisi sebagian kharisma khusus Muhammad.

Pada akhirnya, walaupun kesalehan Ali tidak diragukan lagi, tetapi dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Dengan demikian, Abu Bakar dipilih menjadi khalifah pertama Nabi melalui suara mayoritas. Meski singkat, suasana politik dan kepemimpinan terbilang cukup stabil, hingga sampai pada masa Umar dan Utsman di mana situasi politik tidak stabil, yang membuat keduanya mati dibunuh. Hingga tiba pada masa kepemimpinan Ali sebagai klimaks dari situasi politik yang tidak stabil pada era sebelumnya.

Ali menghadapi situasi yang sulit, ia harus menghadapi kelompoknya sendiri, serta kelompok pemberontak lainnya yang tak suka dan puas dengan kepemimpinannya. Ali harus menghadapi Aisyah dalam perang Jamal. Lalu menghadapi Muawaiyah dalam perang Shiffin. Dalam situasi ini Muawiyah yang menyadari kekalahannya kemudian memainkan peran politiknya. Ia menancapkan Al-Qur’an di tombak sebagai bentuk perdamaian dengan Ali. Di pihak Ali terpecah dalam menyikapi ini, pada akhirnya terjadilah arbitrase di mana Muawiyah secara ambisius mengambil alih kekuasaan dari Ali.  

Kelompok loyalis Ali kemudian terpecah. Mereka yang setia dengan Ali disebut Syiah dan kelompok yang semula setia pada Ali lalu keluar dari barisannya karena merasa tidak puas dengan arbitrase dan menganggap Ali telah berlaku khianat terhadap hukum Allah disebut sebagai Khawarij (ekstremis).

Situasi politik yang kacau, sementara masing-masing pihak saling tuding, menambah rumit kondisi umat. Barisan setia Ali merasa Ali-lah yang paling berhak atas kepemimpinan dan merasa telah dibohongi serta dikhianati oleh pihak Muawiyah. Sementara pihak Muawiyyah sebaliknya merasa Muawiyah adalah pemimpin yang sah dan arbitrase adalah keadaan yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuknya sehingga tidak boleh digugat, yang menggugat berarti melawan Allah. Di sisi lain kelompok Khawarij menganggap kedua belah pihak adalah thagut dan telah kafir dari hukum Allah sehingga halal darahnya (dibunuh).

Khawarij menghendaki kedua orang tersebut harus diperangi, hal ini sesuai doktrin mereka “la hukma illa lillah”, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Doktrin ini kerap kali digunakan oleh kelompok ekstremis dewasa ini. Pada dasarnya teks tersebut berbicara benar, namun interpretasi atas teks tersebut kemudian yang salah. Singkatnya, terjadilah konsfirasi untuk membunuh Ali dan Muawiyah yang pada akhirnya berhasil membunuh Ali, sedang Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan tersebut.

Situasi yang kacau, saling menyalahkan, memfitnah dan membunuh saat itu memunculkan sekelompok orang yang memiliki pemikiran untuk menjaga peradaban dan keamanan umat. Bagi kelompok tersebut, situasi chaos jika tetap dibiarkan akan menyengserakan umat dan membawa umat pada kemunduran dan kehancuran. Karena hal itulah perlu usaha untuk menjaga kemananan dan menyelamatkan peradaban umat.

Cara berpikir demikianlah yang disebut dengan Aswaja sebagai manhajul fikr. Kata Aswaja sendiri memang belum ada pada masa Nabi ataupun masa awal kekhalifahan yang empat. Namun orang-orang yang memiliki cara berpikir ala Aswaja telah ada pada masa itu. Bagi kelompok Aswaja, situasi yang terjadi setelah wafat Nabi di Tsaqifah antara Abu Bakar, Umar dan beberapa tokoh sahabat yang lain adalah salah satu bentuk dari upaya ijtihad politik.

Dalam hal ini, ijtihad politik dipandang secara akomodatif, dimana hasil ijtihad yang benar maka berpahala dua, namun jika salah maka pahalanya satu. Dengan demikian kelompok yang berpikir dengan prinsip Aswaja ini melihat perdebatan panjang yang terjadi mengenai siapa yang paling berhak atas kepemimpinan setelah Nabi lebih bersifat terbuka, dinamis dan toleran. Cara berpikir di atas juga diterapkan dalam kasus arbitrase antara Ali dan Muawiyah, dan hal ini tentu berbeda dengan cara pandang kelompok Khawarij yang sangat ekstremis, kelompok Ali yang sangat sektarian dan begitu juga dengan kelompok Muawiyah.

Cara berpikir dengan prinsip Aswaja ini kemudian diadopsi oleh Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia. NU yang bermazhab Sunni memakai prinsip Aswaja dalam merumuskan kultur gerakan dan keagamaannya. Karena hal yang demikian pula NU seringkali dituding sebagai kelompok yang oportunis, hal ini bisa diterima karena mereka yang menganggap demikian tidak memahami NU dan keAswajaannya, padahal oportunisme dengan prinsip keAswajaan NU sangatlah berbeda.

Aswaja sebagai manhajul fikr adalah upaya dari cara berpikir yang bertujuan menjaga peradaban dan stabilitas keamanan manusia di muka bumi. Aswaja menolak cara-cara berpikir dan bertindak licik, kasar, merusak, intoleran serta hal-hal yang membawa pada chaos dan kemudharatan. Karena itu kelompok Aswaja, misalnya NU sebagai prototype Islam Aswaja di Indonesia sangat teguh menjaga tradisi sembari terus mengikuti perkembangan zaman (al-muhafazhatu alal qadimis-shalih wal akhdzu bil jadidil-ashlah). Tidak hanya itu, bahkan tidak hanya menjaga dan mengambil, Aswaja juga menghendaki produksi dan kreativitas setiap saat dalam hal-hal positif (al-ijad).

Konsep Aswaja oleh NU kemudian ditelurkan menjadi beberapa nilai, selain nilai kuliyah al-khamsah yang sudah diyakini sebelumnya dalam Islam secara kesuluruhan, nilai-nilai itu antara lain, tawasuth (moderat) seorang Muslim haruslah dapat bersikap moderat tidak timpang dalam menyikapi persoalan, tasamuh (toleran) seorang Muslim haruslah bersikap toleran dengan cara menghargai orang atau kelompok lain di luar dirinya sebagaimana ia menghargai diri dan kelompoknya sendiri, tawazun (imbang) seorang Muslim harus berimbang dan mampu menakar setiap persoalan sesuai timbangannya tidak curang dan zalim, dan taaddul (adil) seorang Muslim harus mengedepankan keadilan, keadilan harus diperjuangkan dan ditegakkan dalam segala hal dan kondisi dalam melihat persoalan apapun.


Penulis adalah aktivis PMII Cabang Jakarta Selatan