Opini

Anak dan Moderasi Beragama

Rab, 12 Desember 2018 | 23:00 WIB

Anak dan Moderasi Beragama

Ilustrasi anak (via Telegraph)

Oleh M. Nur Ghufron

Aksi reuni akbar 212 yang berlangsung pada Ahad, 2 Desember 2018 lalu masih menyisakan catatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyayangkan ketika aksi tersebut mengikutsertakan anak-anak. KPAI menghimbau kepada semua pihak untuk tetap memperhatikan hak dan kepentingan terbaik bagi anak secara komprehensif, menghindari mengikutsertakan anak dalam berbagai aksi bahkan dalam pusaran pro dan kontra.

Kekhawatiran KPAI bisa dimaklumi, mengingat bila berbicara tentang perilaku anak baik di masa sekarang maupun di masa mendatang sangat tergantung kepada perilaku orangtua dan lingkungan sekitar. Fakta di lapangan menunjukkan keterlibatan anak dalam berbagai aksi cukup memprihatinkan. Seperti aksi terorisme berupa serangan bom di Sarinah Thamrin pada bulan Januari tahun 2016 melibatkan seorang anak.
 
Kasus pelibatan anak-anak juga terjadi pada bulan Agustus 2016 ketika terjadi serangan terhadap seorang pendeta di Gereja Santo Yosef di Medan yang melibatkan seorang anak berusia 16 tahun. Perakit bom asal Sukabumi yang telah terpapar radikalisme melalui media sosial juga anak yang berusia 16 tahun.

Pada bulan Mei tahun 2018 dikejutkan pula aksi terorisme di tiga gereja di Surabaya yang melibatkan 7 anak. Ketiga anak itu terdiri dari 3 (tiga) tersangka anak-anak teroris di Wonocolo Sidoarjo, 3 (tiga) tersangka anak-anak teroris yang ditangkap di jalan Sikatan dan 1 (satu) anak yang terkait dengan bom di depan kantor Polrestabes Surabaya.

Anak adalah masa depan suatu bangsa,penerus penguasa, pemimpin dan pembuat kebijakan negara serta masyarakat masa depan. Jika mereka tumbuh dengan lingkungan yang harmonis, toleran, damai dan situasi yang menggembirakan, mereka dapat mengembangkan pikiran, sikap dan perilaku mereka dengan sehat dan bijaksana.

Begitu pula sebaiknya, jika anak tumbuh dengan lingkungan yang penuh kebencian, permusuhan dan kekerasan, mereka mengembangkan pula permusuhan, kebencian dan kekerasan itu pada kehidupannya selanjutnya. 

Anak memiliki peranan penting dalam menjaga dan merawat  keberlangsungan negara dan bangsa. Anak memiliki peranan penting dalam merawat moderasi beragama,  kedamaian dan persatuan negara. Sekiranya di negara ini kedamaian pada anak adalah fakta. Bahwa anak menjalani kehidupan dirinya dan masa keemasannya dalam kedamaian, moderasi beragama dan kegembiraan niscaya masa depan bangsa bisa diperkirakan secara damai dan bahagia pula.

Lewat Imitasi

Pada dasarnya, perkembangan kehidupan dunia anak dilakukan dengan cara meniru atauyang dalam istilah psikologi lebih dikenal dengan istilahimitasi atau tiruan. Dalam proses peniruanini, anak akan melihat orang tuanya sebagai tokoh utama yang layak disalin, di-copy atau ditiru selain orang-orang dekat sekitar anak.

Dalam kehidupan nyata, peniruan ini terkait dengan kehidupan sosial, jadi tidak juga berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh kehidupan sosial terinternalisasi pada anak-anak berdasarkan faktor imitasi. Jadi, secara umum meniru adalah proses atau tindakan sosial oleh seorang anak untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan gaya hidup, bahkan apa yang dimiliki oleh orang lain.

Albert Bandura adalah pencetus teori tentang imitasi. Salah satu eksperimen sangat terkenal yang dilakukannya adalah mengenai eksperimen Bobo Doll yang ditelitinya pada tahun 1961 dan 1963. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Anak-anak mengamati karakter di televisi contohnya, dan mengulangi lagi apa yang didengar atau dilihat.

Jadi mereka tidak perlu melakukan sendiri beragam perilaku secara acak dan berharap mengetahui mana yang akan dihargai mana yang tidak. Hasil penelitiannya ini menegaskan bahwa anak- anak meniru apapun yang ada di sekitarnya dengan luar biasa seperti perilaku agresif dari orang dewasa di sekitarnya.

Imitasi adalah perilaku yang sangat penting untuk anak-anak. Proses imitasi atau imitasi berguna untuk perkembangan otak yang optimal. Imitasi adalah interaksi antara anak-anak dan lingkungan yang akan menyebabkan pengalaman baru untuk anak-anak, karena anak-anak belajar dari contoh lingkungan khususnya keluarga. Anak-anak akan melihat orang tua mereka sebagai tokoh utama yang pantas ditiru sebelum meniru orang lain. 

Selain imitasi pada keluarga, proses imitasi atau peniruan kebanyakan dilakukan oleh anakmelalui penyajian contoh perilaku (pemodelan) atau proses pembelajaran terjadi ketika anak mengamati dan meniru perilaku orang lain, bisa secara langsung maupun dari tayangan televisi, media elektronik maupun media sosial.

Imitasi dihasilkan ketika anak melihat model atau orang lain melakukan sesuatu dengan cara tertentu dan mendapatkan konsekuensi dari perilaku itu. Anak akan meniru tindakan yang sama persisdilakukan oleh pihak yang ditiru seperti penampilan (performance), sikap (attitude), perilaku, gaya hidup  dan apapun yang dimiliki oleh tokoh idola. 

Peniruan sebenarnya tidak terjadi secara langsung akan tetapi melalui proses seperti didahului dari  menerima, dan sikapkagum pada apa yang akan ditiru.Meniru pada orang-orang terdekat seperti dari keluarga, orang dewasa sekitar anak  dan dari paparan informasi yang anak dapatkan. Peniruan atau imitasi yang baik akan membentuk kepribadian anak ke arah yang baik, sebaliknya jika peniruan yang buruk akan membentuk anak pada hal yang buruk juga. 

Hal yang sama berlaku untuk kehidupan beragama pada anak-anak, yang pada awalnya anak meniru perilaku orang dewasa dalam ibadah. Meskipun apresiasi agama di antara anak-anak yang sebenarnya belum ada keseriusan, karena tingkat perkembangan pikirannya masih baru tiruan. Melalui peniruan, anak belajar hal-hal berkaitan keagamaan, nilai-nilai dan norma-norma di masyarakat. Anak meniru cara beribadah, sikap beribadah, perilaku dalam beribadah.

Anak juga meniru berbagai kegiatan keagamaan lainnya seperti dalam bermuamalah dengan anak lainnya seperti mengucap salam dengan santun pada anak muslim lainnya atau cara bersalaman dengan baik. Melalui imitasi anakpun juga akan meniru pada sikap keagamaan yang anti kelompok lain atau agama lain bahkan bagaimana memperlakukan atau bahkan menghormati kelompok agama lain. 

Akhirnya, sosok anak merupakan peniru hebat yang seyogyanya mendapatkan contoh, tiruan positif dariorang dewasa, lingkungan sekitar, dan asupan informasi yang baik. Selain itu, kegiatan keagamaan dilakukan dengan intensif, melakukan kegiatan keagamaan secara santun, damai tanpa menumbuhkan kebencian bahkan perilaku kekerasan pada satu golongan atau tokoh serta dilakukan dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan, dengan harapan anak-anak ini akan meniru perilakunya di masa mendatang. Bukankah anak adalah alasan utama untuk memulai kehidupan yang lebih baik?


Penulis adalah Pemerhati Masalah Anak dan Agama, Dosen Psikologi IAIN Kudus, Jawa Tengah