Opini

Ansor di Era Perang Media

Sel, 25 April 2017 | 12:02 WIB

Oleh M. Fathoni Mahsun

Akhir-akhir ini, sampai pada harlahnya  yang ke-83, Gerakan Pemuda Ansor menjadi media darling, mulai dari tingkat Pengurus Pusat (PP) yang berada di Jakarta sampai yan tingkat Pengurus Anak Cabang (PAC) yang berada di kecamatan-kecamatan. Obyek masalahnya berkisar pada Pilkada, isu kebangsaan dan konfrontasi dengan kelompok-kelompok radikal. Tentu hal tersebut menjadi isu yang ngeri-ngeri sedap, di tengah-tengah kondisi perang media yang terjadi setiap hari.

Kita masih ingat dengan peristiwa yang terjadi di Gedangan Sidoarjo (4/3/2017), dimana Ansor setempat bereaksi dengan kehadirian Khalid Basalama, yang diagendakan mengisi pengajian di Masjid Salahuddin perumahan Puri. Khalid Basalama dipandang sering menyampaikan pengajian-pengajian yang mengumbar kebencian ini, tidak dikehendaki Ansor setempat. Setelah koordinasi dengan Kapolres dan penyelenggara, akhirnya Basalama diganti dengan ustad lain.

Namun berita yang berkembang sebaliknya, Ansor melakukan pembubaran pengajian. Padahal pengajian ketika itu masih berlanjut dengan ustadz pengganti. Namun berita  pembubaran ini sudah kadung menyebar kemana-mana. Sampai-sampai Mahfud MD pun ikut-ikut bereaksi. Pada kondisi demikian, berita tidak hanya tersebar melalui media-media mainstream, tapi juga melalui media-media sosail, seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan lain-lain. Skemanya biasanya, apa yang tayang di media mainstream kemudian menjadi berita viral di medsos dengan aneka bumbu, sehingga menggelinding bak bola salju. Walhasil kader Ansor sendiri sering kali kabur melihat permasalahan yang terjadi. 

Pilkada Jakarta yang baru saja usai menjadi bukti, dimana secara mengejutkan bahtsul masail Ansor yang dilaksanakan pada  (11-12/3/2017), mengeluarkan keputusan mengenai bolehnya pemimpin non-Muslim. Respon keras segera menyeruak, baik yang datang dari kelompok yang selama ini dikenal berseberangan dengan Ansor, maupun dari kalangan NU sendiri. Dalam konteks Pilkada DKI putaran kedua, keputusan tersebut jelas membangun opini publik bahwa Ansor mendukung incumbent. Suasana seketika menjadi panas, tidak bisa dibayangkan bagaimana ramainya media-media sosial, yang mengiringi gemuruhnya media-media mainstream. 

Menyikapi kesimpang-siuran yang terjadi dari hasil bahtsul masail, Pengurus Pusat Ansor akhirnya harus turun gunung untuk menjelaskan pada kalangan grassroot. Untuk membendung bola liar yang sedang menggelinding, agar kader-kader Ansor di daerah-daerah tahu apa sebenarnya yang terjadi. Gus Latif Malik, salah satu tim yang menandatangani hasil bahtsul masail tersebut, dalam forum Rijalul Ansor PAC Ansor Jombang Kota menjelaskan, Ansor tidak pernah memberikan dukungan pada pemimpin non-Muslim. Karena di Al-Qur’an memang sudah jelas larangan tersebut. 

Namun manakala isu agama dipolitisir sedemikian rupa sehingga memicu potensi konflik, maka Ansor harus bertindak. Dalam hal ini Ansor berusaha menunjukkan konsistensinya menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. “Jangan sampai isu agama yang dipolitisir sedemikian rupa, sebagaimana yang dilakukan DI/TII terulang kembali. Sabab kalau itu terjadi maka yang dihadapai adalah negara melalu aparat kemanannya, baik TNI maupun Polri.” Gus Latif juga mengingatkan, dengan kelompok-kelompok Islam yang berhaluan keras tersebut, kita masih bersaudara. Sebagai saudara kalau mereka melakukan hal yang membahayakan, maka harus kita ingatkan sebelum diingatkan oleh orang lain.

Kita mengenal prinsip  cover both side di dunia jurnalistik, yaitu pemberitaan yang berimbang. Dalam berita-berita konfliktatif, prinsip cover both side ini harus dipegang kuat-kuat, dengan wujud mengkonfirmasi dua pihak yang berseberangan. Sebab kalau hanya diambil salah satu pihak saja, maka akan dianggap sebagai berita yang tidak berimbang. 

Penerapan prinsip cover both side ini dalam pengamatan saya menjadi kacamata yang cukup efisien dalam membaca berita. Kalau berita hanya mengeksplor pendapat satu pihak, maka segera saja putuskan: ini berita sampah. Prinsip ini juga biasanya cukup ampuh membedakan bahwa berita yang sedang beredar dibuat media profesional, atau  media tendensius.

Beberapa pihak akhirnya mengkodifikasi mana media-media yang berpihak kepada “kita”, dan mana media-media yang berada di pihak “mereka”. Hal ini dimaksudkan agar Nahdliyin mudah mengidentifikasi sumber berita mana saja yang boleh dikonsumsi, dan sumber berita mana yang tidak boleh dikonsumsi. Tentunya media yang dimaksud bukanlah meda-media mainstream yang sudah akrab di kalangan publik.

Maka, aksi konkritnya adalah dengan membuat daftar media-media yang berseberangan dengan  Aswaja. Lalu daftar tersebut di share ke grup-grup media sosial. Saya mengapresiasi usaha demikian, namun apakah usaha ini sudah cukup? Menurut hemat saya agar masyarakat Nahdliyin, wabil khusus Ansor bisa cerdas memamah berita, harus melengkapi diri dengan kacamata cover both side sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sebab untuk menghafal list media “terlarang” yang ternyata cukup banyak, tidak lah mudah.

Pasca kedatangan Basalama di Gedangan Sidoarjo, Ansor Jawa Timur mendapat PR lagi dengan kedatangan Habib Riziq, yang diagendakan mengisi pengajian di masjid Ampel Surabaya pada (14//4/2017). Ansor Surabaya kali ini yang terpanggil, sebagaimana banyak elemen masyarakat Surabaya lainnya, yang tidak menginginkan Habib Rizieq mengusik kedaimaian dan kerukunan masyarakat Jawa Timur.

Sebagai yang punya wilayah, Ansor Surabaya mempunyai kewajiban moral untuk bersikap. Namun, pengalaman Ansor Sidoarjo nampaknya menjadi catatan penting. Sehingga agar tidak menjadi korban bully, Ansor Surabaya tidak sampai menurunkan massa, mereka hanya berstatemen di media. Tapi kenyataannya, mucul juga berita dengan judul “Berulah Lagi, Ansor Surabaya Mau Gagalkan Pengajian Habib Rizieq di Masjid Ampel”  di http://publik-news.com. Kehadiran Habib Rizieq ini hampir saja luput dari perhatian, karena seluruh elemen NU Jawa Timur ketika itu baru saja mempunyai gawe besar berupa Istighotsah Kubro pada (9/4/2017).

Pola gerakan yang memanfaatkan kelengahan warga Nahdliyin ini terulang kembali, kali ini terjadi di Jombang. Setelah Ansor dan Banser masih kelelahan seusai mengawal Konfercab PCNU Jombang pada (21-23/4/2017), secara mengjutkan tiba-tiba terdengar kabar ada unjuk rasa HTI di dekat RSNU Jombang. Unjuk rasa itu terjadi ketika beberapa anggota Ansor dan Banser masih terlelap, setelah beberapa jam sebelumnya begadang sampai dini hari.

Masihkah para kader Ansor tidak merasa bahwa saat  ini kita sedang berada pada era perang media? Pilihannya adalah bermedsos sebagaimana biasa, atau ambil bagian menjadi pasukan perang Ansor yang saat ini sudah mulai dibentuk. Kalau pilihan kedua yang diambil maka pertama, wajib hukumnya kader Ansor mempunyai Twitter, karena saat ini popularitas berita banyak dipengaruhi oleh trending topik Twitter. Tidak zamannya lagi kader Ansor tidak punya account Twitter, sebab kalau ada undangan nge-twit tidak bisa ikut berperan mendongkrak isu yang sedang diusung. Kedua, kemampuan ber-Facebook tidak cukup hanya dengan update status, tapi juga harus bisa melaporkan account-account penyebar hoax dan berita ujaran kebencian agar segera diblokir oleh Facebook. Tiga, kader Ansor tidak cukup mengkonsumsi meme, tapi juga harus bisa memproduksi meme. 
Sederhana sebenarnya.


Penulis adalah kader Ansor Jombang