Opini

Tradisi Debat Publik di NU

Jum, 26 Januari 2024 | 11:00 WIB

Tradisi Debat Publik di NU

Logo Nahdlatul Ulama. (Foto: NU Online)

Angin Utara yang sejuk dan berhembus di Bulan Desember tak mengendurkan ketegangan hadirin pada malam itu. Lewat satu dini hari, peserta Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU masih terus terjaga. Memadati area sidang di halaman Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, Jawa Timur. Di panggung utama, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Tolkhah Mansur tengah menjadi sorotan. Keduanya kini sedang memperdebatkan suatu rumusan yang kelak bakal dikenang menjadi salah satu keputusan terpenting dalam sejarah perjalanan NU.


“Perlukah Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal?” Pertanyaan sekaligus tema utama perdebatan dua tokoh berikut ternyata merupakan sebab dari diselenggarakannya pertemuan para kiai yang diadakan di tahun 1983 itu. 

 

Secara spesifik, Munas tersebut dimaksudkan untuk merespons desakan pemerintah Orde Baru yang hendak menertibkan seluruh organisasi kemasyarakatan agar bisa menempatkan Pancasila sebagai pedoman utama termasuk pedoman dasar bagi organisasi-organisasi Islam.


Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Hal: 163-169) menerangkan bahwa debat antara Gus Dur dan Kiai Tolkhah berlangsung cukup sengit namun tanpa menanggalkan adab dan etika. Gus Dur adalah representasi golongan pembaharu di tubuh NU. Ia berkomitmen menerima Pancasila. Sedangkan Kiai Tolkhah mewakili ulama senior yang berupaya menjaga keotentikan jam'iyah.


Mulanya Kiai Tolkhah yang kontra memulai bantahan atas paparan lawan debatnya ini dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi Gus Dur jeli membaca situasi. Banyak anggota intel yang turut serta bergabung buat memantau jalannya sidang. Sedangkan kritik yang dilontarkan Kiai Tolkhah atas Pancasila yang menurutnya telah dipolitisasi pemerintah dianggap cenderung membahayakan acara. Ia memberi semacam kode supaya sesepuh yang merupakan pakar hukum tata negara itu beralih wahana ke bahasa Arab. Sepakat. Debat pun dilanjut.


Mendekati pukul 4 pagi, usai semua pertanyaan Kiai Tolkhah mampu dijawab secara memuaskan oleh Gus Dur, mereka akhirnya menemui mufakat jika nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 


Gus Dur dan Kiai Tolkhah berpelukan hangat di hadapan peserta Munas. Para ulama langsung melakukan shalat subuh. Terdapat kelegaan karena konfrontasi yang mungkin terjadi dengan pemerintah bisa dihindari. Hal ini juga membangkitkan kepercayaan diri bahwa para ulama berhasil memecahkan masalah tanpa mengorbankan prinsip-prinsip mereka.


Kiai Achmad Siddiq yang pernah menjadi sekretaris KH Wahid Hasyim mengikuti debat ini dengan was-was. Segera setelah semuanya selesai ia memeluk Gus Dur dan dengan penuh emosi berkata: “Anda tahu, Durrahman, dalam pandangan saya, Anda seperti ayah Anda. Saya kenal ayah Anda cukup lama. Saya tahu cara berpikirnya dan apa yang dipikirkannya mengenai NU. Saya kira Anda benar bahwa dalam banyak hal Anda seperti ayah Anda.”


Belakangan para pemerhati NU beranggapan jika sebagai seorang profesor hukum tata negara, posisi berlawanan yang awalnya ditempuh KH Tolkhah pada debat malam itu sebenarnya bertujuan untuk menguji seberapa matang konsep dan argumen penerimaan Pancasila yang dibawa oleh golongan muda.


Polemik dengan Kalangan Islam Modernis

Jauh mundur ke belakang, debat yang melibatkan kaum nahdliyin sejatinya juga pernah terjadi tempo sebelumnya. Riwayatnya bahkan bisa dilacak sejak awal organisasi ini berdiri.


Pada 18 November 1935, KH Ahmad Hassan beserta 39 petinggi Persatuan Islam (Persis) datang ke kantor sekretariat NU Cabang Bandung. Melansir keterangan di Majalah Al-Lisaan, No. 1, 27 Desember 1935, kehadiran jamaah mereka tak lain karena mendengar adanya salah seorang tokoh sentral NU yang hendak berpartisipasi dalam acara tabligh akbar bersama segenap umat Islam di Bandung. Sosok tersebut didaulat menjadi pembicara utama. Namanya KH Abdul Wahab Chasbullah.


Mulanya Kiai Ahmad Hasan menyurati pengurus NU agar sudi mendatangkan Kiai Wahab ke markas besar Persis. Mereka mengajukan opsi untuk menggelar forum debat antara Kiai Hasan dan Kiai Wahab. Tema debatnya mengenai urusan taqlid. Di masa itu bahasan soal taqlid memang selalu jadi polemik hangat di antara kelompok Islam tradisional dan Islam modern.


“Sekali lagi kami oelangkan, bahwa lantaran masalah ini sangat penting, harap ketoea-ketoea Nahdlatul Ulama jang soeka membela kebenaran, akan datang ke tempat kami atau soeka terima kedatangan kami di tempat toean-toean boat bertoekar pikiran, Wassalam “Goeroe-goeroe Persatoean Islam,” (Majalah Al-Lisaan, No. 1, 27 Desember 1935: 1-2)


Pada awalnya, pengurus NU cabang Bandung menolak permintaan Persis dengan alasan pertemuan itu tidak akan menghasilkan keputusan apa pun. Perdebatan yang terjadi antara NU dengan Persis tidak akan mengubah pendirian masing-masing pihak. Namun atas beberapa pertimbangan, mereka menyepakati pilihan kedua. Pengurus Persis yang datang ke markas NU.


KH Wahab tampil lebih dulu memaparkan pendapatnya tentang “wajibnya taqlid”. Lalu kemudian Tuan. A. Hassan tampil di atas mimbar memaparkan pandangan tentang “haramnya taqlid”. Kedua orang ini saling memberikan hujjah atas pemahaman masing-masing.


Dalam pandangan Kiai Hassan dari Persis, Allah mengharamkan umat Islam untuk taqlid kepada siapa pun, walau setinggi apa pun keilmuan yang diikutinya, kecuali hanya boleh mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang tidak bisa berijtihad, wajib ittiba, yaitu mengikuti siapa saja dengan mengetahui dalil yang dikemukakan orang yang diikuti.


Sementara itu, para kiai NU tetap pada pendiriannya, bahwa kewajiban taqlid tetap berlaku bagi sebagian besar umat Islam. Dalam pendapat Kiai Wahab, orang yang tidak bisa berijtihad, wajib taqlid kepada salah salah satu dari imam mazhab yang empat. Taqlid itu terkadang dengan disertai tahu dalil dan terkadang bisa dengan tanpa tahu dalil.


Orang-orang awam yang tidak tahu dalil, cuma perlu ikut perkataan para gurunya. Orang Islam tidak perlu memaksakan ittiba, yaitu mengikuti sesudah tahu alasan dari orang yang diikuti. Adapun bagi orang yang mampu ijtihad, boleh melakukan ijtihad kalau mempunyai kapasitas ilmu agama yang mumpuni.


Sampai pertemuan itu selesai, kedua kelompok tetap bertahan pada argumen masing-masing. KH Ruhiyat, KH R.A. Dimyati, dan KH Syamsuddin dari kalangan petinggi NU yang turut hadir menyampaikan nasihat kepada semua peserta. Inti dari nasehat ketiga kiai tersebut adalah supaya umat Islam tetap berpegang teguh pada ajaran Islam.


Umat Islam diharapkan dapat menghargai perbedaan meskipun perdebatan kerap terjadi. Kebenaran dari siapa pun hendaknya dapat diterima dengan lapang dada tanpa melihat “kaum tua” atau “kaum muda”. Setelah itu, H Said Hasan Wiratama, ketua NU cabang Bandung mengucapkan terima kasih atas kehadiran A. Hasan beserta seluruh rombongan dari Persis, seraya menutup acara.


Memaknai Perdebatan Hukum Kentungan

Al kisah beberapa bulan menjelang diadakannya Munas NU di Situbondo, Gus Dur yang kala itu masih belum menapaki posisi ketua umum PBNU sebenarnya telah giat mendatangi pesantren-pesantren guna melakukan sosialisasi tentang pentingnya pengakuan Pancasila sebagai asas tunggal. Di sisi lain, ia juga menyerukan soal pentingnya mengembalikan NU pada relnya kembali: Menjauhkan diri dari aktivitas politik praktis dan fokus pada program kerja di bidang sosial kemasyarakatan.


Sontak kampanye tersebut mendapat respon beragam di kalangan pengurus besar. KH Idham Chalid selaku ketua umum PBNU merasa jika agenda kaum muda yang diwakili oleh Gus Dur berpotensi memecah belah suara nahdliyin dalam menyatukan kekuatan politik. Sejauh ini di tiap pemilihan umum, mereka senantiasa dihimbau untuk menyumbangkan suara ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Gus Dur yang akhirnya dicap memporak-porandakan konsep mapan dalam ber-NU menanggapi tuduhan itu dengan santai seraya mengingatkan bahwa perbedaan pandangan di internal NU adalah suatu keniscayaan.


Dalam wawancaranya bersama Greg Barton, ia mengenang kisah yang dituturkan salah seorang kiai NU generasi pendiri bernama KH Masykur. Di tahun 1926, KH Hasyim Asy’ari sempat menulis artikel untuk majalah Suara Nahdlatul Ulama. Dalam artikel ini, ia mengajukan argumen bahwa oleh karena kentungan tidak disebutkan dalam hadits nabi, maka tentunya diharamkan dan tidak dapat digunakan untuk menandakan waktu shalat. Seperti banyak kiai lainnya, Kiai Hasyim juga beralasan jika dalam hal-hal pemujaan, tradisi harus dipertahankan dan inovasi dibatasi hanya pada penerapan sosial ajaran itu, bukan pada cara pemujaan dasar. Tidak semua orang sepakat. Bahkan pada awal pembentukannya, tradisi pluralisme dalam NU sudah cukup kuat. (Greg Barton: 162)


Sebulan setelah dipublikasikannya artikel KH Hasyim Asy’ari, seorang kiai senior lain, Kiai Fakih, menulis sebuah artikel untuk menentangnya. Ia beralasan bahwa Kiai Hasyim keliru karena prinsip yang digunakan dalam masalah ini adalah urusan qiyas. Atas dasar ini maka kentungan Asia Tenggara memenuhi syarat buat digunakan sebagai pengganti beduk untuk menandai waktu salat.


Sebagai tanggapannya, Kiai Hasyim mengundang ulama Jombang untuk bertemu dengannya di rumahnya dan kemudian meminta agar kedua artikel itu dibaca keras. Ketika hal ini telah dilakukan, ia mengumumkan kepada mereka yang hadir: “Anda bebas mengikuti pendapat yang mana saja, karena kedua-duanya benar, tapi saya mendesakkan bahwa di pesantren saya, tidak dipergunakan,”.


Beberapa pekan kemudian, Kiai Hasyim diundang buat menghadiri perayaan maulid nabi di Gresik. Tiga hari sebelum tiba, Kiai Fakih yang merupakan kiai senior di Gresik membagikan surat kepada semua masjid dan musala agar mereka menurunkan kentungan untuk menghormati Kiai Hasyim. Himbauan tersebut dipertegas dengan arahan supaya mereka tidak menggunakannya selama Kiai Hasyim berada di tempat itu.


Ahdi Nadhiva, sedang menempuh studi Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta