Nasional

Jelang Debat Cawapres, LPP PBNU Jelaskan Akar Konflik Agraria di Indonesia

Rab, 17 Januari 2024 | 12:00 WIB

Jelang Debat Cawapres, LPP PBNU Jelaskan Akar Konflik Agraria di Indonesia

Cawapres 2024. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar debat calon wakil presiden (cawapres) pada Ahad (21/1/2024) pukul 19.00 WIB di JCC Senayan, Jakarta. Problem agraria menjadi salah satu tema dalam debat keempat tersebut.


Sekretaris Pengurus Lembaga Pengembangan Pertanian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPP PBNU) Tri Chandra Aprianto menyoroti ketidakseimbangan kepemilikan lahan oleh korporasi sebagai akar konflik agraria di Indonesia.


"Korporasi memiliki lahan yang luas untuk usaha, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses lahan," tutur Chandra kepada NU Online pada Selasa (16/1/2024) malam.


Menurut Chandra, kasus konflik agraria meningkat 12 persen pada 2023, terutama di sektor perkebunan Hak Guna Usaha (HGU). Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa kasus konflik agraria naik menjadi 241 dibandingkan dengan 212 konflik pada tahun sebelumnya, dengan mayoritas konflik terjadi di sektor perkebunan HGU.


Sementara dalam penanganan konflik, Chandra mencatat adanya pendekatan kekerasan fisik dan teror psikologis. Pada tahun 2023, terdapat kasus penganiayaan sebanyak 91 kasus dengan korban sebanyak 79 korban laki-laki dan 12 korban perempuan dalam konflik agraria.


Reforma Agraria di persimpangan jalan 

Chandra menganggap program reforma agraria hanya menjadi slogan. Redistribusi tanah untuk pemanfaatan lahan oleh rakyat tak berjalan dengan baik. Pemerintah lebih menjalankan program sertifikasi lahan yang sudah menjadi milik masyarakat.


"Tidak berjalannya program reforma agraria, menyebabkan pemberdayaan masyarakat yang tidak memiliki lahan atau lahan yang kecil menjadi tidak berjalan dengan baik," kata pria yang menyelesaikan disertasinya tentang Reforma Agraria dan Masyarakat Perkebunan di Jember itu.


Pada tingkat kebijakan, Chandra menyoroti tentang kurangnya prioritas pemerintah terhadap isu-isu mendasar seperti agraria, lingkungan, dan masyarakat adat selama hampir 10 tahun terakhir. Pemerintah lebih cenderung mendukung investasi dan pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan dampak sosial terhadap masyarakat.


"Permasalahan lingkungan pemerintah hanya berhenti pada peringatan berhati-hati terhadap dampak nyata kerusakan lingkungan, baik yang terjadi di daratan, hutan, pesisir hingga lautan serta maritim dan pulau-pulau kecil," terang Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Jember itu.


Dampak sosial

Menurutnya, selama ini pemerintah lebih melilit pada rehabilitasi, ketimbang pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam secara partisipatif. Ironisnya, kecenderungan atau perubahan kebijakan maupun rancangan undang-undang yang menyasar soal-soal sumber daya alam  melemahkan perlindungan lingkungan, dan lebih berpihak pada korporasi.


"Pemerintah lebih mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur di tengah krisis ekologi dan bencana bagi masyarakat. Tak ada analisis risiko dampak sosial kepada masyarakat," jelas Chandra.


Pemerintah juga belum mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi bencana dalam kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan di tengah banyak bencana alam baik faktor alami maupun manusia.


"Pengalih fungsian hutan menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu perkebunan, properti, pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan ternyata juga syarat akan beragam masalah," imbuhnya.


Pemberian hak dan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan

Chandra berharap pemerintah memberikan hak kepada masyarakat secara adil, bukan hanya sebagai pemilik lahan tetapi juga memberikan kemampuan untuk mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan.


"Harapan agar masyarakat tidak hanya menjadi pemilik sumber daya alam, tapi juga harus bisa mengolah kekayaan alam jadi bernilai tambah berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," katanya.


Evaluasi kebijakan reforma agraria

Dalam debat cawapres mendatang, ia menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan agraria dan lingkungan yang mungkin tidak sejalan dengan konstitusi. Memberikan wewenang pada institusi tertinggi untuk mengelola sumber daya agraria dengan fokus menghentikan konflik, mengkaji kebijakan agraria, dan merumuskan kebijakan baru sesuai dengan konstitusi.


"Selama ini tumpang tindih antar-kementerian dan lembaga serta badan-badan negara lainnya. Wewenang tersebut bisa di satu badan otorita bisa di bawah wapres. Kalau di bawah Menko kurang greget kayaknya," ujarnya.

 

Usul pembentukan badan otorita 

Chandra juga menyarankan pembentukan badan otorita yang memiliki wewenang untuk menghentikan konflik agraria, mengkaji kebijakan agraria, dan merumuskan kebijakan baru sesuai dengan konstitusi, mengatasi tumpang tindih antara Kementerian/Lembaga dan badan-badan negara lainnya.


"Tugasnya menghentikan konflik-konflik agraria yang ada; mengkaji kebijakan agraria khususnya di tingkat berbagai KL dan badan-badan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan keberlanjutan lingkungan; dan merumuskan kebijakan baru yang sesuai dengan alur konstitusi," tandas Chandra.