Opini REFLEKSI HARLAH KE-92 NU

Api Perjuangan NU yang Tak Kunjung Padam (2)

Kam, 1 Februari 2018 | 03:01 WIB

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Sikap ideologis NU terhadap Pancasila dan NKRI juga tercermin dalam penerimaan asas tunggal Pancasila pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Meski sebelumnya juga menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama NU. Sikap ini pun medapat cemoohan dari beberapa kalangan karena menganggap NU oportunis dan politis. Bahkan ada sebagian umat Islam yang mencurigai NU dibayar oleh pemerintah.

Kecurigaan ini sempat terlontar saat Gus Dur menjadi narasumber pada diskusi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) awal tahun 1990-an. Sebagaimana diceritakan oleh sahabat Makmun Murod pada penulis, dimana saat itu dia menjadi panitia, dalam diskusi itu ada peserta yang tanya, kompensasi apa yang diterima NU sehingga dengan mudah menerima asas tunggal Pancasila? Apakah ada deal politik dan ekonomi atau imbalan material? Demikian kira-kira pertanyaan salah seorang peserta.

Mendapat pertanyaan ini Gus Dur dengan santai menjawab: "justru karena NU menerima asas tunggal duluan maka tidak ada kompensasi, karena tidak terjadi proses negosiasi yang alot. Yang perlu kompensasi itu yang negosiasinya alot. Kalau NU ingin kompensasi ya akan melakukan tawar menawar dulu, kalau perlu yang belakangan menerimanya supaya dapat kompensasinya banyak”.

Ketika muncul tirani pemerintah Orde Baru, sehingga terjadi hegemoni negara atas rakyat, maka NU tampil menjadi kekuatan kritis terhadap negara. Oleh Nakamura (1982) sikap NU ini disebut sebagai "Tradisionalisme Radikal". Sikap ini dilakukan NU sebagai bentuk menjaga NKRI dan Pancasila sekaligus upaya agar Pancasila tidak menjadi alat kekuasan yang tiran.

Hal ini secara tegas dinyatakan Gus Dur: "Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya, tidak peduli apakah dia akan dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam." (Doglas E. Remage, 2002: 80)

Pasca reformasi, tantangan NU tidak semakin berkurang. Keterbukaan iklim sosial politik yang membuka arus kebebasan dihampir semua sektor telah menjadikan Indonesia sebagai medan pertarungan bebas (free battle field) berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. 

Akibatnya muncul berbagai anomali sosial yang menimbulkan keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini telihat dalam gerakan radikal, munculnya kelompok intoleran di satu sisi dan di sisi lain munculnya gerakan pasar bebas yang melakukan eksploitasi sumber ekonomi dengan mengabaikan rasa keadilan.

Dalam kondisi demikian, secara instingtif NU merasa terpanggil untuk bergerak membela dan mepertahankan NKRI dan Pancasila. Sikap ini mincul secara spontan, tanpa ada yang memerintah apalagi memfasilitasi. Meskipun sendirian, NU terutama Banser, tetap bergerak melawan provokasi dan berbagai tindakan anarki yang menggunakan simbol agama untuk kepentingan politik. Karena menurut NU gerakan seperti ini bisa mengancam integrasi bangsa.

Sebagaimana yang pernah dialami oleh para pendahulunya, ketika melakukan tindakan tersebut, saat ini NU juga mendapat caci maki dan fitnah dari kelompok Islam garis keras. NU dituduh membubarkan pengajian, anti ulama, penjaga gereja bayaran, liberal, sok nasionalis dan sejenisnya. 

Dulu tudingan seperti ini datang dari orang luar. Sekarang tudingan seperti ini bahkan datang dari beberapa kalangan NU sendiri yang sudah terkontaminasi oleh paham dan budaya kaum radikal sehingga tega menista para ulama dan sesepuh NU

Di sisi lain NU juga melakukan kritik tajam terhadap sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif. Sikap kritis ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk keputusan organisasi (lihat Keputusan Munas Cirebon), juga berbagai gerakan advokasi yang dilakukan oleh umat NU (kasus Kendeng, Bandara Yogya, dan sebagainya).

Meskipun demikian, harus diakui, berbagai tarikan kepentingan dan godaan materi sempat membuat gocangan bahkan menumbulkan keretakan di beberapa bagian dari tubuh NU. Namun demikian kuatnya bingkai dan tali pengikat NU yang longgar itu tetap bisa menjaga keutuhan, sehingga serpihan-serpihan yang retak itu tidak sampai lepas dari tali pengikat.

Sejarah panjang NU dalam menghadapi gempuran badai fitnah, intrik, manuver politik dan caci maki merupakan modal dalam menghadapi berbagai goncangan situasi yang bakal terjadi akibat menguatnya kontestasi dan pertarungan ideologi yang sarat kepentingan. Hal ini menunjukkan bahwa api perjuangan NU terus menyala hingga sekarang.

Selamat ulang tahun NU, semoga api perjuanganmu bisa membakar semangat kelompok lain sehingga menggerakkan mereka untuk bangkit mempertahankan Pancasila dan NKRI. Semoga NU tidak kesepian dan sendirian lagi saat menerima fitnah, caci maki dan hinaan saat menjaga keutuhan bangsa. Yang terpenting, semoga NU makin kokoh dan tegar menghadapi keadaan yang makin terjal dan berliku.

Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta.