Opini

Arsitektur Lokal Masjid Kita

Jum, 19 Mei 2017 | 02:05 WIB

Arsitektur Lokal Masjid Kita

ilustrasi: Masjid Agung Demak

Oleh Rosidi
''Pada masa sekolah dulu, selama enam (6) tahun, saya selalu singgah beribadah di masjid ... ini. Kabarnya masjid ini mau direhab. Mumpung belum berubah bentuknya, saya sempatkan foto selfie di sini, buat kenang-kenangan ...''

Demikian status salah satu teman di Kabupaten Kudus dalam akun Facebook-nya, yang menyempatkan diri berfoto usai shalat Jum'at di masjid yang dulu sering menjadi tempat singgahnya untuk menjalankan shalat, semasa masih sekolah.

Bukan konteks foto swafotonya yang menjadi penting untuk dikemukakan di sini. Melainkan, motif di balik swafotonya itu, yakni karena diniatkan untuk kenang-kenangan, lantaran masjid tersebut akan direnovasi dengan arsitektur yang benar-benar berubah, yakni kearab-araban.

Perubahan arsitektur masjid, mushalla atau tempat ibadah umat Islam lain di tengah-tengah masyarakat, kini memang banyak terjadi. Tidak hanya di Kudus, tetapi bisa kita saksikan di berbagai tempat di Indonesia, khususnya Jawa.

Akibat dari perubahan bentuk bangunan tersebut, arsitektur lokal pun kian tergusur oleh arsitektur yang kearab-araban itu. Jika arsitektur lokal di masjid-masjid dan tempat ibadah lain terus tergusur oleh arsitektur yang kearab-araban, yang, dalam pandangan sebagian kecil orang dinilai lebih islami, maka akan hilanglah kearifan lokal dalam arsitektur masjid atau tempat ibadah kita.

Seiring dengan itu, dua hal penting pun akan memudar dalam tradisi dan budaya lokal Indonesia, khususnya Jawa, dalam wujud pembangunan tempat ibadah. Pertama, pudarnya budaya (kultur) lokal dalam wujud arsitektural.

Masyarakat zaman dulu, dalam membangun tempat ibadah, baik masjid atau mushalla, memiliki ciri khas tersendiri di masing-masing daerah. Arsitektur bangunan dalam pembangunan tempat ibadah itu pun memiliki fisofofi masing-masing.

Lokalitas bahkan sangat nampak dengan penyebutan masjid (mesjid) atau tempat ibadah yang berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Solichin Salam (1977), mencatat, di beberapa tempat, masjid dikenal pula dengan mesigit/Sigit (Jawa), masigit (Sunda), meuseugit (Aceh), dan masigi (Sulawesi).

Masjid kemudian banyak disebut untuk menunjukkan tempat ibadah yang dipergunakan menunaikan shalat Jum'at, sementara yang hanya untuk melaksanakan shalat sehari-hari ada langgar (Jawa), tajug (Sunda), surau (Minangkabau), meunasah (Aceh), dan langgara (Sulawesi).

Kedua, terasingnya generasi muda dari arsitektur lokal dan filosofi tempat ibadah yang pernah dimiliki. Perlu dipahami, bentuk-bentuk tempat ibadah dalam arsitektur lokal yang berbeda-beda di masing-masing daerah, memiliki makna (filosofi) yang dalam.

D Jawa, misalnya. Zamhuri dkk. (2012), menulis, fenomena arsitektur yang dikembangkan oleh Walisongo, merepresentasikan suatu tatanan masyarakat baru yang egaliter, inklusif, dan transformatif.

Arsitektur Masjid Agung Demak dan masjid-masjid lain yang atapnya tersusun lapis tiga, bisa dilihat mengadopsi bentuk pura. Dulu, tiga lapis atap ini identik dengan rakyat jelata. Namun oleh Walisongo menjadi nilai baru, karena siapapun bisa memanfaatkannya tanpa memandang gelar dan jabatan.

Dengan kata lain, Walisongo telah memberikan nilai baru melalui tempat ibadah, yakni mengajarkan prinsip persamaan, tidak memandang jabatan dan gelar kebangsawanan kepada umat, yang itu diwariskan kepada generasi hingga sekarang.

Menilik dari makna lokalitas yang terkandung dalam arsitektural bangunan masjid dan tempat ibadah lain yang khas, maka arsitektur lokal masjid-masjid dan tempat ibadah lain umat Islam di Jawa dan Indonesia secara umum, perlu dipertahankan.

Dengan mempertahankannya, bukan saja kita ikut menjaga dan merawat khazanah budaya lokal yang termanifestasikan dalam arsitektural masjid dan tempat ibadah, tetapi sekaligus menjaga agar generasi yang akan datang tidak teralienasi (terasing) dari budayanya sendiri. Wallahu a'lam. 
 
Penulis adalah pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Cabang Kudus dan staf Humas Universitas Muria Kudus (UMK)