Opini HARI BUKU

Bagaimana Manuskrip Jadi Kitab Cetak?

Kam, 24 April 2014 | 10:00 WIB

Oleh Syafiq Hasyim
Banyak kalangan santri, termasuk saya sendiri, yang tidak tahu menahu atau belum tahu tentang bagaimana sejarah sebuah kitab itu menjadi bentuk buku, terutama proses menjadikan manuskrip (maḥṭūṭāt) ke dalam bentuk kitab yang tercetak, sebagaimana yang kita nikmati setiap hari di pesantren kita.
<>
Seingat saya, di pesantren-pesantren NU memang diwasiatkan tentang pentingnya menjaga sanad guru (rangkain) ketika mengaji sebuah kitab, tapi sayangnya tidak diajarkan bagaimana sesungguhnya sebuah kitab itu sampai ke percetakan dan lalu bisa kita baca pada forum santri.

Mengetahui sejarah pembukuan kitab itu penting sekali, sebab berbeda dengan Al-Qur’an yang kita hafalkan, kitab-kitab ini ditransmisikan kepada para murid lebih banyak lewat tradisi tulisan.

Zaman dulu,ketika masih ngaji di pesantren, saya juga hanya memikirkan dan menikmati kitab-kitab yang sudah“jadi” mulai dari terbitan Menara Kudus sampai Dar al-Fikr.  Pada masa itu, terasa lega sekali jika sudah mampu membeli kitab, apalagi kitab-kitab yang biasa menjadi pegangan kitab NU.

Kitab besar pertama yang saya beli dari hasil honorarium mengajar di Madrasah Diniyyah Awwaliyah adalah Iḥyā’ʿUlūm al-Dīn, versi yang 4 jilid. Ketika itu saya berada di kelas 3 Madrasah Tsanawiyyah. Setiap sore, pada waktu lepas, sebelum ngaji, kitab ini saya tengok dan sedikit-sedikit diberikan makna gandul atasnya. Kertas kuning dan cetakan huruf Arab yang indah yang mengadopsi temuan Johannes Gottenberg, seorang inventor teknologi mesin cetak dari Jerman, senantiasa menarik minat saya untuk membuka kitab-kitab tersebut.

Sampai suatu hari saya mendapatkan rezeki nomplok dimana seorang tetangga yang bekerja di Saudi Arabia membelikan kitab Fathul Bari 13 jilid sebagai hadiah untuk saya. Saya menerimanya dengan senang hati dan tersanjung. Baru pertama kali dalam hidup saya mempunyai kitab cetakan luar negeri. Keterpesonaan pada kulit muka kitab yang solid, sangat beda dengan versi cetakan Menara Kudus, serta kertas putihnya yang sangat indah itu tidak ada habisnya.

Bagi saya, melihat Fathul Bari masa itu, tidak ada kata lain kecuali mengaguminya. Tapi tetap saja kekaguman saya berhenti hanya sampai pada batas keindahan cover, kertas dan sudah barang tentu isinya.

Dan terasa aneh, ketika itu, saya tidak menaruh minat untuk tahu sama sekali tentang bagaimana sejarah kitab mewujud menjadi buku yang indah seperti ini. Bahkan saya tidak tertarik sama sekali membaca catatan editornya(muḥaqqiq) yang biasa dicantumkan di halaman depan. Sama sekali saya tidak memikirkan peran muhaqqiq-nya (editor) dalam mewujudkan manuskrip Fathul Bari atau kitab-kitab besar lainnya ke dalam bentuk edisi kitab tercetak (printededition). Padahal dalam setiap kitab terutama yang dicetak belakangan, proses editing dari manuskrip menjadi printed edition biasanya didedahkan. Misalnya, sang editor akan menyatakan jika edisi kitab ini didasarkan pada manuskrip yang tersimpan di perpustakaan mana, soal variant readingnya dlsb.

Terus terang, hal yang demikian tidak menjadi perhatian ketika ngaji sebuah kitab, minimal saya tidak mengalaminya.Untuk pengarang kitab-kitab tersebut pastilah terlintas di benak saya, karena sebelumnya sudah mendengar soal mereka dari para kyai di pondok, tapi editor saya tidak pernah mendengar. Mata saya mulai terbuka ketika mendapatkan kesempatan melihat secara langsung manuskrip-manuskrip kitab-kitab besar yang tersimpan dengan rapi di banyak perpustakaan besar di dunia dari mulai Timur Tengah, Asia Tengah, Amerika, sampai Eropa.

Setelah melihat manuskrip-manuskrip itu, saya mulai menyadari soal dunia penulisan kitab pada masa dimana Johannes Gutternberg belum menemukan mesin cetaknya. Menurut sejarah, Johannes Gutternberg baru menemukan mesin cetak sekitar tahun 1439 M dan ini berarti proses kepengarangan sudah melampaui zaman puncak keesaman Islam. Artinya, di dunia Islam, sudah banyak jutaan buku atau kitab yang beredar. Rezim al-Makmun saja mulai proyek penerjemahan buku-buku berbahasaYunani pada sekitar abad 8 M. Belum kitab-kitab yang ditulis oleh para penulis Muslim sendiri, dari rentang abad 7-14 M.

***

Mengetahui sejarah dan proses pengalihan versi manuskrip ke dalam versi cetak ini cukup penting bagi kita pertama untuk mendapatkan kesadaran betapa sulitnya menghadirkan versi cetak sebuah kitab. Pada masa pra-mesin cetak, semua kitab ditulis dengan tangan, lalu dikumpulkan dan dijilid. Seorang muʿallif (author) bisa menuliskan buah pikirnya dengan cara menyalinnya sendiri, namun tidak jarang yang meminta tangan murid atau sahabatnya untuk menyalinkannya.

Kitab-kitab yang berjilid-jilid itu tidak hanya membutuhkan pikiran, tenaga dan waktu, namun juga uang yang besar untuk mewujudkannya. Pada masa di mana kertas seperti yang kita lihat sekarang belum ditemukan, orang menulis di atas kertas yang terbuat dari olahan kulit domba atau hewan sejenis, di mana satu jilid kitab bisa menghabiskan ratusan kulit domba.Mushaf Qur’an San’a yang tersimpan di Perpustakaan National Berlin misalnya, konon bisa menghabiskan 300 domba lebih.

Sekali lagi, ini artinya untuk menulis sebuah kitab butuh orang kaya yang mampu menfasilitasi penulisan dan penggandaannnya. Di sinilah, saya jadi mengerti kenapa sebuah kitab sering berkaitan dengan permintaan seorang raja atau penguasa karena merekalah yang memiliki uang untuk membiayai penulisan sebuah kitab itu. Sebuah fragmen hubungan pengarang penguasa yang butuh dipahami lain dari hanya sekadar relasi kuasa dari yang kuat terhadap yang lemah.

Selain itu, mengetahui sejarah dan proses manuskrip juga berguna untuk menengarai tuduhan-tuduhan soal tahrif (pendistorsian redaksi asli) oleh kelompok tertentu atas sebuah kitab. Sebelum jatuh pada kesimpulan adanya taḥrīf, kita sebaiknya membaca dulu muqaddimah yang diberikan oleh editornya dulu. Seorang editor yang baik adalah yang menjelaskan tentang metodologi taḥqīqnya, termasuk menjelaskan asal usul manuskrip yang dia kerjakan. Perlu diketahui bahwa sebuah kitab bisa memiliki lebih dari satu salinan manuskrip. Penyalin ini pun sendiri terkadang hidup pada zaman yang berbeda dengan pengarang atau penyalin-penyalin lainnya. Atau sebuah kitab bisa saja ditulis oleh pengarangnya hanya satu saja, lalu dari yang satu ini ditulis lagi oleh murid dan sahabat-sahabatnya. Dari proses menulis inilah bisa saja terjadi kekurangan atau hal-hal yang ketelingsep dan ini hal yang manusiawi saja. Ibn Taymiyyah misalnya, karena tulisannya tangan jelek sekali dan sulit dibaca oleh orang lain, maka beliau meminta orang lain untuk menuliskan ulang tulisannya (copy).

Kita mungkin bisa jatuh pada kesimpulan tentang terjadi taḥrīf pada sebuah printed edition, jika sumber manuskrip yang digunakannya sama persis dan kita menemukan perbedaannnya di sana. Itu pun itu harus melihat kredibilitas editornya dulu. Hal ini perlu kita ketahui agar jika benar terjadi distorsi, maka apakah distorsi tersebut itu disebabkan oleh cara metodologi muhaqqiq dalam membaca dan mengedit manuskripnya berbeda atau disebabkan oleh kepentingan ideologis tertentu dari sang muḥaqqiq. Sudah barang tentu,  untuk mengetahuinya secara pasti butuh studi yang mendalam. Judgment atau prejudice tidak akan membantu kita banyak kecuali memproduksi kecurigaan-kecurigaan baru. Kecurigaan sangat penting dalam tradisi pengembangan ilmu pengetahuan, namun jika kecurigaan bukan perwujudan kebencian yang ideologis. (Waallāhu ‘alamu bi al-ṣawāb).


SYAFIQ HASYIM, Rais Syuriah PCINU Jerman, meraih Dr. Phil dari Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies, FreieUniversität, Berlin)