Opini

Bagaimana Memilih Teman di Era Medsos?

Sab, 11 Mei 2019 | 21:15 WIB

Oleh: Muhammad Nur Hayid

Teman adalah kebutuhan yang tak bisa kita tolak. Karena berteman itu merupakan wujud nyata kita ini mahluk sosial. Orang yang tak berteman tidak akan pernah menjadi manusia seutuhnya. Lalu, Bagaimana cara berteman dalam Islam?

Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Ghazali membagi manusia dalam tiga kategori.

Pertama, manusia seperti makanan. Kita tidak mungkin bisa melepaskan diri dari makanan selama kita masih bernyawa. Artinya, sebagai makhluk sosial, tidak tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Maka, berakhlaklah yang baik agar kita bisa mendapatkan asupan makanan yang baik melalui mua'syaroh kita dengan akhlak yang mulia.

Kedua, manusia seperti obat. Kadang kita butuh saat kita sakit dan kadang kita harus menjauhi obat agar tidak over dosis. Dalam konteks ini, pastikan jangan salah memilih teman sebagaimana jangan salah mendiagnosa penyakit dan akhirnya salah minum obat.

Kalau kita salah memilih teman sama dengan salah minum obat, bukannya badan sehat yang kita rasakan, tetapi justru bisa keracunan. Begitu juga saat kita salah memilih sahabat atau teman, bukannya kemaslahatan dan kemanfaatan yang kita peroleh, tetapi justru madharat dan bahaya yang akan kita rasakan.

Ketiga, manusia seperti penyakit. Jauhilah tipe yang ketiga ini. Maka tidak ada pilihan, jangan cari manusia model ini sebagai kawan atau teman, sebab selain pasti akan merusak diri kita, pasti juga akan menularkan keburukannya kepada orang lain. Sebagaimana penyakit yang akan menularkan kepada orang lain kalau kita tidak menjauhi dan mencegahnya.

Namun tipe ketiga ini tidak bisa kita hindari karena itu bentuk ujian dari Allah SWT. Sebagaimana penyakit juga tidak bisa kita hindari pasti akan ada untuk menguji kita sebagai manusia yang mengaku beriman kepada Allah.

Hanya saja caranya, kalau kita tahu dia ini penyakit, maka janganlah didekati, jauhi dan jika bisa dibasmi. Bukan manusianya yang dibasmi, tapi akhlak dan prilakunya yang menjadi penyakit menular itulah yang harus kita basmi.

Di era medsos yang sangat terbuka ini, kita bisa mencari sendiri tipologi manusia yang disebutkan Imam Ghazali di atas. Pilihan tinggal kita sendiri, mau memilih sahabat dan teman yang kita butuh setiap saat karena mampu membawa kekuatan dan energi yang baik, atau mau memilih penyakit yang akan menggerogoti diri kita hingga tumbang tanpa manfaat hidup di atas muka bumi ini.

Tentu orang yang waras akan memilih yang pertama dibanding yang ketiga. Dan golongan orang-orang yang pertama itu adalah golongan orang-orang yang shaleh, alim, tawadhu', penuh rahmah dan cinta yang jauh dari sikap sombong, benere dewe alias maunya menang sendiri.

Bukan model orang-orang yang suka mencaci maki dan menebar hoaks, suka menghina dan merendahkan orang lain karena kesombongannya. Bukan pula model orang yang suka membid'ahkan orang lain, bahkan berani mengkafirkan orang lain. Karena golongan ini adalah golongan manusia yang ketiga yaitu penyakit menular yang sangat berbahaya dan harus diberantas agar masyarakat menjadi sehat.

Nabi Isa AS pernah ditanya soal bagaimana beliau belajar adab, tata krama dan akhlak yang mulia? Beliau menjawab, tidak pernah belajar dari siapa pun dan diajari oleh seseorang pun. Tetapi Nabi Isa belajar akhlak dan adab itu dari bodohnya orang-bodoh yang tidak mau memperbaiki diri. Lalu beliau menjauhi sikap para juhala itu alias tak mau mencontohnya.

Dengan menghindari sikap yang dibenci orang lain, dan tidak meniru kelakuan orang-orang bodoh itu, sebenarnya cara belajar adab yang paling sederhana dan gampang, demikian kata Imam Ghozali. Sekarang bagaimana dengan kita?

Masihkan kita ikuti prilaku orang-orang yang tak paham agama lalu menyerukan jihad dan meniru prilaku orang-orang bodoh yang setiap saat menghina siapapun yang berbeda dengan dirinya? Jawabannya adalah, itulah potret kita sesungguhnya. Menjadi bodoh bersama juhala atau keluar dari mereka menjadi orang-orang yang waras.

Saatnya kita jadikan medsos kita medsos yang sehat dan waras. Jangan jadikan medsos kita sebagai alat penebar fitnah, hoaks dan adu domba. Orang jawa bilang, becik ketitik olo ketoro, apa yang kita tulis akan jadi cacatan pribadi kita di dunia ini, lebih-lebih di akhirat kelak saat kita mempertanggungjawabkan semua itu dihadapan sang khaliq.

Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU